Hari selasa, hari yang seperti
biasa. Matahari bersinar cerah, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing,
jalan yang diramaikan oleh kendaraan
serta orang-orang pejalan kaki yang memulai aktivitas mereka dihari selasa
pagi. Tidak diherankan jika hari selasa itu ramai karena hari selasa adalah
hari yang digunakan untuk beaktivitas. Mulai dari anak TK sampai ke
pejabat-pejabat Negara. Beda dengan saya pribadi yang berprofesi sebagai Guru
TK sekaligus Mahasiswa di STIU Darul Hikmah Bekasi. Hari selasa bukanlah hari
untuk beraktivitas seperti dalam jadwal orang-orang yang bekerja di kantor,
perusahaan dan lain-lain. TK tempat saya mengajar tetap masuk sekolah, tapi
saya yang mengajar Al-Qur’an di TK tersebut hanya diberi jadwal mengajar 3 hari
dalam seminggu (senin, rabu dan jum’at). Kenapa? Karena saya diberi amanah
untuk mengajar Al-Qur’an secara klasikal (seluruh kelas) jadi mulai dari play
grup sampai ke TK B semua belajar Al-Qur’an dengan saya dalam satu kelas mula
dari pukul 08.00 s/d pukul 09.00 pagi. Hari selasa dijadwal adalah hari libur
buat saya. Tapi bukan berarti dihari itu saya hanya tinggal diam di rumah
Qur’an, nonton you tube dll. Tapi hari itu saya tetap menyusun jadwal sendiri mulai dari
bersih-bersih rumah, muroja’ah dan nambah hafalan, belajar, menulis, menghafal
hadits dan lain-lain. Intinya adalah mulai dari terbit matahari sampai masuk
waktu dzuhur selalu saya usahakan untuk mengisi hari kosong itu dengan kegiatan
yang bermanfaat. Karena sempat berfikir juga, kalau hari libur kita gunakan
dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagaimana dengan masa depan kita, saya
tidak mau jadi orang yang biasa-biasa saja. Masih ingat dengan kata-kata Mami
Dibha J “jangan
mau jadi orang biasa, jadilah orang yang luar biasa”. Itu yang menjadi
prinsip dalam hidup saya saat ini.
Kembali lagi ke hari selasa, hari
itu selain kegiatan bersih-bersih rumah dll, saya telfon orang tua mumpung ada
waktu yang luang. Pulsa sudah saya siapkan 3 hari yang lalu khusus nelfon
orang tua di kampung. “tiiikkkkk,,,
tiiikkkk, tiiikkkk,” bunyi handphone saya ketika menghubungi orang tua. Tapi tidak ada jawaban. Ku coba lagi untuk
memanggil yang kedua kalinya “tiiikkkk, tiiiikkk, tiiikkkk” sama, masih tetap
tidak ada jawaban. Ku coba lagi yang ke tiga kalinya “tiiikkk, tiiikkk,
tiiikkk” tetap sama, tidak ada jawaban. Akhirnya saya menyerah dan berpikir
“mungkin Ibu dan Ayah lagi kerja di kebun”. Kata itu yang tersirat dihati saya.
Akhirnya saya menelfon kakak panggil saja kakak A. “tiiikkkk, tiikkk, tiiikkk”
hanya beberapa detik kak A memberi jawaban “halo, Assalamu alaikum” terdengar
suara lembut kak A. Dan langsung saya jawab “wa’alaikum salam, bagaimana
kabarta kak, sehat-sehat jaki? Mama sama Aji sehat juga ji toh?”. Tanya saya
kepada kak A. “iya dek, baik-baik semua ji orang-orang disini, sehatji semua”
jawab kak A. Rasa lega menyelimuti saya mendengar jawaban dari kak A.
“Alhamdilillah” tidak ada yang harus dikhawatirkan semuanya baik-baik saja.
Seketika itu Kak A melanjutkan pembicaraan. Ini adalah pembicaraan yang hangat
dan sempat meneteskan beberapa butir air mata saya. Ia menceritakan akhlaq salah satu kakak saya
yang selama ini dikenal sebagai seorang lelaki yang rewa (bahasa konjo yang
artinya nakal, sok kuat, galak). panggil saja kakak B. Ia memang nakal sejak
dari kecil, tidak pernah mau belajar semenjak duduk dibangku SD. Sehingga
ketika ia duduk di kelas 5 SD ia memutuskan pendidikannya dan menjadi anak
pa’bambong. Bahkan dulu ia pernah dipenjara selama 6 bulan karena mencuri biji
cokelat orang yang dijemur dijalan. Sampai saat ini akhlaqnya makin buruk,
bahkan ia berani melawan orang tua saya. Berkomunikasi dengan handphone sama
kak A dengan kalimat yang ia sampaikan yang sempat menghentikan jantungku
berdetak kalimatnya kurang lebih seperti ini “Dek, kak B sekarang makin
buruk akhlaqnya. Ia berani melawan Ibu sama Ayah Dek. Bahkan kakak B sudah
tidak mau lagi makan bareng dengan Ibu dan Ayah. Katanya Ibu dan Ayah bau dan
udah tua jadi kakak B jijik makan bareng sama Ibu dan Ayah. Setiap pagi Ibu
bekerja di kebun jadi gak sempat meyiapkan sarapan pagi. Ketika kakak B ke
dapur dan gak ada makanan, ia menendang panci, wajan dan apa saja yang ada di
dekat kakinya ditendang semuanya seperti bola sambil marah-marah karena ibu gak
sempat menyiapkan sarapan pagi untuknya. Tapi kan dia udah punya istri, tapi
sayang sejuta sayang istrinya gak bisa masak apa-apa, goreng pisang aja
istrinya gak bisa. Kakak B juga pernah berkata seperti ini dek “walah…saya
tidak punya Ayah yang bau, itu Ayahnya Risal Ayah yang bau”. Kakak sedih dek denger
kata-kata itu. Bahkan dia sudah tidak menganggap lagi orang tua kita karena
udah tua katanya. Bahkan yang paling menyakitkan dia berkata kayak gini “ibu
mah kalo dah tua dijadiin pembantu aja”. kaka sedih dek”.
Mendengar penjelasan itu saya
langsung lemas dan tidak berdaya. Ku tatap kosong jendela di sebelah kananku,
saya berlutut saat itu dan tidak berdaya. Tanganku bergetar kencang, darahku
seakan berhenti mengalir mendengar pejelasan itu. Bibirku bergetar, mulutku
terkunci tak bisa mengeluarkan kata-kata, mataku tak mampu lagi menampung air
hingga air itu mengalir dipipiku dan membasahi bajuku. Saya biarkan air mata
itu menetes sesukanya, biarlah ia menari-nari dipipiku. Seketika itu saya
langsung mematikan handphone. Saya duduk lemas dilantai sambil menatap kosong ke
arah jalan yang mulai sepi. Air mataku terus mengalir. Bayangan Ibu dan Ayahku
seakan hadir mengusap air mataku saat itu. Dalam hatiku berkata “ya Allah
ada apa dengan semuanya, apa yang terjadi pada kakakku sehingga ia rela
menyakiti orang tua saya sekaligus orang tuanya sendiri. Pada hal selama ini
Ibuku tetap menyayanginya ya Rabb. Tapi kenapa ia setega ini. ampunilah kakakku
ya Allah, berilah ia hidayah agar ia kembali ke jalanmu dan mencintaimu serta
mencintai Ayah dan Ibuku. Satu hal yang aku pinta kepadamu ya Allah. Kuatkan
Ibu dan Ayahku untuk menghadapi anaknya, teguhkan hatinya ya Allah”.
Hari-hari berlalu, saya masih
terpikir dengan orang tua di kampung. Dan hati selalu bertanya-tanya “kapan
kakakku dapat hidayah untuk bertaubat?”. Tapi aku berusaha melalui hari-hari di
perantauan ini dengan tetap tersenyum. Orang tua tetap selalu hadir dalam
setiap do’a dan dalam sujudku. Seminggu kemudian, saya menelfon Ibu di kampung. “tiiiikkkk, tiiiikkk, tiiikkk,”gak
ada jawaban. saya tidak menyerah. Saya telfon lagi yang ke dua kalinya
“tiiikkk, tiiiikkk, tiiiikkk,” masih tidak ada jawaban juga. Rasa khawatir
datang menyerbuku saat itu. Khawatir dengan orang tua bagaimana keadannya
sekarang. Akhirnya saya mencoba lagi untuk menelfonnya yang ke tiga kalinya “tikkkk, tiiikkk, tikkkk”
beberapa detik terdengar suara lelaki tua dihandphone saya iya itu suara Ayah
saya. Alhamdulillah “halo, halo, halo” saya langsung menjawab “iya, halo
Assalamu alaikum”. Ayahku menjawab “Wa’alaikum salam, bagaimana kabarta nak?”
tanya Ayahku. Saya terdiam sejenak saat itu, menghapus air mata saat mendengar
kalimat dari Ayah. “Wa’alaikum salam, Alhamdulillah sehat-sehat ji Aji. Kita
iya bagaimana kabarta?” tanyaku pada Ayahku. “baik-baikji nak, tapi mamamu lagi
sakitki kasian 3 harimi. Tidak bisa bangun, shalat saja shalat berbaring”. Kata
Ayahku. Saya menghembuskan nafas dengan keras. Ibuku sakit? Kali ini saya
berusaha kuat dan berbicara seperti biasa meskipun air mataku tetap mengalir. Saya
tanyakan penyakit apa yang menimpa ibuku. Tapi
Ayah juga gak tau karena tidak
pernah periksa kesehatan ke dokter. Yappp, saya tetap berusaha kuat. Saya
berusaha berbicara seperti biasa dan meminta Ayah untuk mengantar Ibuku ke
dokter. Cari tau sakit apa yang dideritanya. 3 hari ibuku sakit, Ayahku pun 3
hari tidak bekerja di kebun karena menemani Ibu yang lagi terbaring sakit. Pada
hal kerjaan Ayah numpuk. Memupuk cengkeh, mencangkul, merawat jagung dan
membuat gula merah. Tapi 3 hari ini Ayahku tidak bekerja dulu karena menemani
Ibu yang lagi sakit. Di rumah ada kakak B, tapi dia tidak pernah mau tau
bagaimana keadaan ibuku. Ia tidak pernah menyempatkan waktunya untuk ke kamar
Ibu yang lagi sakit. Ia hanya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri dan
mengabaikan Ibu kandungnya sendiri yang sedang sakit. Sedih,, ya seperti itu
yang saya rasakan. Di rumah Ibu lagi sakit yang hanya dirawat oleh Ayah.
Do’a yang selalu ku persembahkan
untuk orang tua. J.
Syafakillah Ibu.