Senin, 13 April 2015

Tetesan Air Mata untuk Ibu


Hari selasa, hari yang seperti biasa. Matahari bersinar cerah, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing, jalan yang  diramaikan oleh kendaraan serta orang-orang pejalan kaki yang memulai aktivitas mereka dihari selasa pagi. Tidak diherankan jika hari selasa itu ramai karena hari selasa adalah hari yang digunakan untuk beaktivitas. Mulai dari anak TK sampai ke pejabat-pejabat Negara. Beda dengan saya pribadi yang berprofesi sebagai Guru TK sekaligus Mahasiswa di STIU Darul Hikmah Bekasi. Hari selasa bukanlah hari untuk beraktivitas seperti dalam jadwal orang-orang yang bekerja di kantor, perusahaan dan lain-lain. TK tempat saya mengajar tetap masuk sekolah, tapi saya yang mengajar Al-Qur’an di TK tersebut hanya diberi jadwal mengajar 3 hari dalam seminggu (senin, rabu dan jum’at). Kenapa? Karena saya diberi amanah untuk mengajar Al-Qur’an secara klasikal (seluruh kelas) jadi mulai dari play grup sampai ke TK B semua belajar Al-Qur’an dengan saya dalam satu kelas mula dari pukul 08.00 s/d pukul 09.00 pagi. Hari selasa dijadwal adalah hari libur buat saya. Tapi bukan berarti dihari itu saya hanya tinggal diam di rumah Qur’an, nonton you tube dll. Tapi hari itu saya tetap  menyusun jadwal sendiri mulai dari bersih-bersih rumah, muroja’ah dan nambah hafalan, belajar, menulis, menghafal hadits dan lain-lain. Intinya adalah mulai dari terbit matahari sampai masuk waktu dzuhur selalu saya usahakan untuk mengisi hari kosong itu dengan kegiatan yang bermanfaat. Karena sempat berfikir juga, kalau hari libur kita gunakan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagaimana dengan masa depan kita, saya tidak mau jadi orang yang biasa-biasa saja. Masih ingat dengan kata-kata Mami Dibha Jjangan mau jadi orang biasa, jadilah orang yang luar biasa”. Itu yang menjadi prinsip dalam hidup saya saat  ini.

Kembali lagi ke hari selasa, hari itu selain kegiatan bersih-bersih rumah dll, saya telfon orang tua mumpung ada waktu yang luang. Pulsa sudah saya siapkan 3 hari yang lalu khusus nelfon orang  tua di kampung. “tiiikkkkk,,, tiiikkkk, tiiikkkk,” bunyi handphone saya ketika menghubungi orang  tua. Tapi tidak ada jawaban. Ku coba lagi untuk memanggil yang kedua kalinya “tiiikkkk, tiiiikkk, tiiikkkk” sama, masih tetap tidak ada jawaban. Ku coba lagi yang ke tiga kalinya “tiiikkk, tiiikkk, tiiikkk” tetap sama, tidak ada jawaban. Akhirnya saya menyerah dan berpikir “mungkin Ibu dan Ayah lagi kerja di kebun”. Kata itu yang tersirat dihati saya. Akhirnya saya menelfon kakak panggil saja kakak A. “tiiikkkk, tiikkk, tiiikkk” hanya beberapa detik kak A memberi  jawaban “halo, Assalamu alaikum” terdengar suara lembut kak A. Dan langsung saya jawab “wa’alaikum salam, bagaimana kabarta kak, sehat-sehat jaki? Mama sama Aji sehat juga ji toh?”. Tanya saya kepada kak A. “iya dek, baik-baik semua ji orang-orang disini, sehatji semua” jawab kak A. Rasa lega menyelimuti saya mendengar jawaban dari kak A. “Alhamdilillah” tidak ada yang harus dikhawatirkan semuanya baik-baik saja. Seketika itu Kak A melanjutkan pembicaraan. Ini adalah pembicaraan yang hangat dan sempat meneteskan beberapa butir air mata saya.  Ia menceritakan akhlaq salah satu kakak saya yang selama ini dikenal sebagai seorang lelaki yang rewa (bahasa konjo yang artinya nakal, sok kuat, galak). panggil saja kakak B. Ia memang nakal sejak dari kecil, tidak pernah mau belajar semenjak duduk dibangku SD. Sehingga ketika ia duduk di kelas 5 SD ia memutuskan pendidikannya dan menjadi anak pa’bambong. Bahkan dulu ia pernah dipenjara selama 6 bulan karena mencuri biji cokelat orang yang dijemur dijalan. Sampai saat ini akhlaqnya makin buruk, bahkan ia berani melawan orang tua saya. Berkomunikasi dengan handphone sama kak A dengan kalimat yang ia sampaikan yang sempat menghentikan jantungku berdetak kalimatnya kurang lebih seperti ini “Dek, kak B sekarang makin buruk akhlaqnya. Ia berani melawan Ibu sama Ayah Dek. Bahkan kakak B sudah tidak mau lagi makan bareng dengan Ibu dan Ayah. Katanya Ibu dan Ayah bau dan udah tua jadi kakak B jijik makan bareng sama Ibu dan Ayah. Setiap pagi Ibu bekerja di kebun jadi gak sempat meyiapkan sarapan pagi. Ketika kakak B ke dapur dan gak ada makanan, ia menendang panci, wajan dan apa saja yang ada di dekat kakinya ditendang semuanya seperti bola sambil marah-marah karena ibu gak sempat menyiapkan sarapan pagi untuknya. Tapi kan dia udah punya istri, tapi sayang sejuta sayang istrinya gak bisa masak apa-apa, goreng pisang aja istrinya gak bisa. Kakak B juga pernah berkata seperti ini dek “walah…saya tidak punya Ayah yang bau, itu Ayahnya  Risal Ayah yang bau”. Kakak sedih dek denger kata-kata itu. Bahkan dia sudah tidak menganggap lagi orang tua kita karena udah tua katanya. Bahkan yang paling menyakitkan dia berkata kayak gini “ibu mah kalo dah tua dijadiin pembantu aja”. kaka sedih dek”.


Mendengar penjelasan itu saya langsung lemas dan tidak berdaya. Ku tatap kosong jendela di sebelah kananku, saya berlutut saat itu dan tidak berdaya. Tanganku bergetar kencang, darahku seakan berhenti mengalir mendengar pejelasan itu. Bibirku bergetar, mulutku terkunci tak bisa mengeluarkan kata-kata, mataku tak mampu lagi menampung air hingga air itu mengalir dipipiku dan membasahi bajuku. Saya biarkan air mata itu menetes sesukanya, biarlah ia menari-nari dipipiku. Seketika itu saya langsung mematikan handphone. Saya duduk lemas dilantai sambil menatap kosong ke arah jalan yang mulai sepi. Air mataku terus mengalir. Bayangan Ibu dan Ayahku seakan hadir mengusap air mataku saat itu. Dalam hatiku berkata “ya Allah ada apa dengan semuanya, apa yang terjadi pada kakakku sehingga ia rela menyakiti orang tua saya sekaligus orang tuanya sendiri. Pada hal selama ini Ibuku tetap menyayanginya ya Rabb. Tapi kenapa ia setega ini. ampunilah kakakku ya Allah, berilah ia hidayah agar ia kembali ke jalanmu dan mencintaimu serta mencintai Ayah dan Ibuku. Satu hal yang aku pinta kepadamu ya Allah. Kuatkan Ibu dan Ayahku untuk menghadapi anaknya, teguhkan hatinya ya Allah”.  

Hari-hari berlalu, saya masih terpikir dengan orang tua di kampung. Dan hati selalu bertanya-tanya “kapan kakakku dapat hidayah untuk bertaubat?”. Tapi aku berusaha melalui hari-hari di perantauan ini dengan tetap tersenyum. Orang tua tetap selalu hadir dalam setiap do’a dan dalam sujudku. Seminggu kemudian, saya menelfon Ibu  di kampung. “tiiiikkkk, tiiiikkk, tiiikkk,”gak ada jawaban. saya tidak menyerah. Saya telfon lagi yang ke dua kalinya “tiiikkk, tiiiikkk, tiiiikkk,” masih tidak ada jawaban juga. Rasa khawatir datang menyerbuku saat itu. Khawatir dengan orang tua bagaimana keadannya sekarang. Akhirnya saya mencoba lagi untuk menelfonnya yang ke  tiga kalinya “tikkkk, tiiikkk, tikkkk” beberapa detik terdengar suara lelaki tua dihandphone saya iya itu suara Ayah saya. Alhamdulillah “halo, halo, halo” saya langsung menjawab “iya, halo Assalamu alaikum”. Ayahku menjawab “Wa’alaikum salam, bagaimana kabarta nak?” tanya Ayahku. Saya terdiam sejenak saat itu, menghapus air mata saat mendengar kalimat dari Ayah. “Wa’alaikum salam, Alhamdulillah sehat-sehat ji Aji. Kita iya bagaimana kabarta?” tanyaku pada Ayahku. “baik-baikji nak, tapi mamamu lagi sakitki kasian 3 harimi. Tidak bisa bangun, shalat saja shalat berbaring”. Kata Ayahku. Saya menghembuskan nafas dengan keras. Ibuku sakit? Kali ini saya berusaha kuat dan berbicara seperti biasa meskipun air mataku tetap mengalir. Saya tanyakan penyakit apa yang menimpa ibuku. Tapi  Ayah  juga gak tau karena tidak pernah periksa kesehatan ke dokter. Yappp, saya tetap berusaha kuat. Saya berusaha berbicara seperti biasa dan meminta Ayah untuk mengantar Ibuku ke dokter. Cari tau sakit apa yang dideritanya. 3 hari ibuku sakit, Ayahku pun 3 hari tidak bekerja di kebun karena menemani Ibu yang lagi terbaring sakit. Pada hal kerjaan Ayah numpuk. Memupuk cengkeh, mencangkul, merawat jagung dan membuat gula merah. Tapi 3 hari ini Ayahku tidak bekerja dulu karena menemani Ibu yang lagi sakit. Di rumah ada kakak B, tapi dia tidak pernah mau tau bagaimana keadaan ibuku. Ia tidak pernah menyempatkan waktunya untuk ke kamar Ibu yang lagi sakit. Ia hanya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri dan mengabaikan Ibu kandungnya sendiri yang sedang sakit. Sedih,, ya seperti itu yang saya rasakan. Di rumah Ibu lagi sakit yang hanya dirawat oleh Ayah.

Do’a yang selalu ku persembahkan untuk orang tua. J. Syafakillah Ibu.