Selasa, 12 Januari 2016

Ayah, Jangan Lantarkan Aku


Aku adalah anak ke dua dari tiga bersaudara aku biasa dipanggil Aco. Ayahku adalah seorang petani dan Ibuku seorang Ibu rumah tangga. Aku bahagia punya keluarga yang sederhana dan selalu berkumpul dalam setiap waktu. Main bareng dengan adik dan abang. Suatu hari Ayah berangkat kerja ke kebun membawa cangkul yang telah  disiapkannya dua hari yang lalu. Ketika ia mulai melangkahkan kakinya keluar rumah aku berlari dan memeluknya “Ayah..aku sayang Ayah, Ayah yang kuat ya kerjanya”. Kataku dengan penuh rasa bahagia. “Iya nak, Ayah akan bekerja untuk kalian, Ibu, adik dan abangmu. Kamu jangan jadi anak nakal ya, harus  jadi anak yang baik”. Kata Ayahku dengan suara yang lembut. Air mataku menetes membasahi pipiku setelah aku mendengar nasehat Ayahku. Aku memeluknya dengan pelukan erat “Iya Yah, aku janji aku akan jadi anak yang baik”. Kataku dengan suara yang bersedu-sedu. Aku melepas pelukan dari Ayahku, dan Ayahku pergi membawa cangkulnya. Ku tatap langkah demi langkah kaki Ayahku. Semakin jauh Ayahku semakin menghilang dari pandanganku.  Setelah Ayah tak terlihat lagi dari pandanganku, aku masuk ke dalam rumah menemui Ibu yang sedang memasak. “bu, Ibu  lagi masak apa hari ini?” tanyaku kepada Ibu. “nih, Ibu lagi masak sayur sama nasi”. Jawab Ibuku sambil tersenyum. Perlahan aku memperhatikan senyuman Ibu, terlihat bahagia yang sangat mendalam yang aku rasakan saat menatap senyuman Ibu. Ibuku mirip dengan adikku yang paling kecil, Lela. “Ibu, boleh gak aku bantu Ibu masak? Laki-laki gak ada salahnya kan kalau belajar masak?”. Tanyaku kepada Ibu. Ibu tersenyum kembali mendengar  tawaranku untuk membantunya memasak. “iya nak, boleh. Laki-laki gak ada salahnya kok kalau belajar masak”. Kata Ibu dengan wajah yang terlihat bahagia. “kebetulan Ibu mau ke warung  beli garam sama bawang, nasi dan sayurnya kamu yang selesaikan masaknya ya nak” kata Ibu. “iya bu siap” kataku dengan semangat. Ibu pun bergegas ke warung dan aku melanjutkan memasak sayur dan nasi.

            Dua puluh menit kemudian, aku menunggu kedatangan Ibu dari warung. Kebetulan masakannya sudah aku selesaikan. “ibu mana ya  kok lama bangat ke warung?”. Hatiku bertanya-tanya kemana Ibu. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki “tolong…tolong…tolong…ada orang pingsan”. Mendengar suara itu aku bergegas pergi dan berlari menuju sumber suara itu. Seteleh sampai, pandanganku tertuju pada sosok seorang wanita yang terbaring tak berdaya di tengah jalan. Lalu aku berlari menghampirinya. Dan ternyata ia adalah Ibuku. Tanpa sadar aku berteriak “Ibu…Ibu…Ibu…Ibu kenapa? Bangun bu”. Teriakku sambil memeluk Ibu. Warga kampung mulai berdatangan dan membantu mengantarkan Ibu pulang ke rumah. Aku langsung berlari ke kebun tempat Ayahku bekerja. Kebetulan di rumah ada abang dan adikku serta tetanggaku yang menjaga ibu yang masih dalam keadaan pingsan. Selama ini, aku tak pernah berani ke kebun sendirian karena banyak babi yang berkeliaran di kebun. Tapi kali ini, aku tak merasa takut lagi demi Ibuku. Aku terus berlari tanpa menghiraukan apa yang ada di depanku. Dan akhirnya aku pun tiba di kebun tempat Ayah bekerja “Ayah…Ayah… pulang Yah, Ibu lagi pingsan di rumah” teriakku saat memanggil Ayah. “apa nak, Ibu pingsan ?!” kata Ayah dengan kaget. “iya yah, Ibu pingsan”. Kataku. Seketika itu, Ayah bergegas pergi dan berlari dan melemparkan cangkulnya ke arah kanannya dan tidak menghiraukannya lagi. Aku pun menyusul Ayah pulang ke rumah. Setelah tiba di rumah, warga mulai berdatangan ke rumahku untuk menjenguk Ibuku. Aku pun masuk ke dalam rumah dengan langkah yang cepat. Ku lihat Ayahku memeluk Ibuku dalam keadaan lemah tak berdaya “Ibu kenapa bu? Kok bisa begini?” kata Ayahku kepada Ibuku.  Namun, ibuku tetap saja terdiam membisu tanpa mengucapkan satu kata dari bibirnya. Tetangga-tetanggaku yang ada dalam ruangan itu menangis melihat ayahku. Mereka mengira bahwa Ibuku tak akan bertahan hidup lebih lama lagi di dunia ini. “sabar ya nak, insyaAllah nanti istrimu akan sadar lagi, gak usah khawatir” kata nenekku yang berusaha menenangkan Ayahku.

Satu jam kemudian, Ibuku sadar dan menggenggam tangan ayahku. Aku mendekati Ibuku, ia menangis saat melihatku dan ke dua saudaraku. Ia tetap membisu tak ada kata yang mampu ia ucapkan. Sampai satu minggu kemudian, Ibuku tetap tak mampu mengeluarka satu kata pun dari mulutnya. Ketika itu, mentari mulai terlihat dibalik gunung, ku tatap Ibuku dengan tatapan tajam karena mukanya mulai terlihat pucat “Ibu, Ibu kok wajahnya jadi pucat?” tanyaku kepada Ibu. Tiba-tiba Ayah menepuk punggungku dari belakang “Apa? Wajah ibumu pucat?!”. Kata Ayahku dengan kaget. Ayah menggenggam tangan Ibu saat itu dan mengusap air mata Ibu yang terus mengalir di pipinya. “ibu yang kuat ya, InsyaAllah Ibu akan sembuh kok, Ayah akan tetap do’akan Ibu”. Kata Ayah kepada Ibu. Namun, Ibu masih tetap terdiam membisu dan menatap tajam wajah Ayahku. Makin lama mata Ibu mulai tertutup dan air matanya berhenti mengalir. Seketika itu pula Ayahku makin menggenggam erat tangan ibuku, aku duduk disebelah kiri Ibu. Air mata ayahku makin deras dan berteriak “Ibu…Ibu..Ibu..” aku kaget mendengar Ayah, “ada apa ini? kok Ayah berterika sekencang itu” tanyaku dalam hati. Ternyata Ibuku telah tiada. Ia pergi meninggalaknku, meninggalkan Ayah dan ke dua saudaraku.  Aku menangis memeluk ibu yang tak bernyawa lagi, adikku Lela dan abangku pun memeluk Ibu sambil menangis atas kepergian Ibu selama-lamanya.

Sebulan kemudian, aku hidup tanpa kasih sayang seorang Ibu. Aku dan kedua saudaraku jadi anak yatim. Aku pun harus mengurus adikku Lela yang baru berumur  dua tahun. Ayahku tetap bekerja sebagai seorang petani. Kami menjalani hidup tanpa cinta dan kasih sayang seorang Ibu. setelah kepergian Ibu, Ayahku mulai mendekati perempuan lain untuk menggantikan sosok Ibuku dalam hidupku. Tapi aku rasa, tak ada wanita yang mampu menggantikan Ibu dalam hidupku meskipun ia telah tiada. Tapi aku tidak bisa melarang Ayahku. Dan akhirnya Ayahku pun menikah dengan  seorang perempuan tetanggaku. Dan kini aku dan kedua saudara ku jadi anak tiri perempuan itu. Seminggu dua minggu keluarga baru kami tetap hangat. Namun, memasuki minggu ke-3, Ibu tiriku mulai terlihat berbeda dari biasanya, kelembutannya mulai terkikis. Dan Ayahku tak pernah peduli denganku lagi dan kedua saudaraku. Suatu hari Ibu tiriku memerintahku untuk mencari kayu bakar “Aco, hari ini kamu ke kebun sama abang dan adikmu cari kayu bakar, lihat tuh kayu bakar kita udah mulai berkurang. Kalau tidak ada kayu bakar maka kalian tidak bisa makan!!” kata Ibu tiriku dengan suara yang keras. “tapi bu, adikku masih kecil mana mungkin kami mengajaknya ke kebun mencari kayu bakar bu”. Kataku kepada Ibu tiriku. “bodoh amat, intinya hari ini harus ada kayu bakar” kata Ibu tiriku. Akhinya aku minta abangku untuk tetap di rumah sama adikku. Dan aku ke kebun mencari kayu bakar. Setelah pulang, aku menatap ayahku yang sedang duduk bersama ibu tiriku di teras rumah. Namun ayahku tak memperlihatkan senyumnya seperti dahulu, malah mukanya terlihat sangat membenciku. Aku gak tau dimana salahku hingga Ayahku berubah sperti ini.

Satu tahun kemudian,  aku dan kedua saudaraku hidup dengan Ibu tiri dan Ayah yang tidak memberikan cinta dan kasih sayangnya lagi. Hingga akhirnya aku dan kedua saudaraku dilantarkan oleh Ayah dan tidak memperdulikanku lagi. Adikku Lela diasuh oleh seorang wanita yang tidak aku kenal. Dan abangku pun pergi merantau ke luar negeri dan aku tak tau di Negara mana ia pergi mencari kehidupan. Hanya  aku yang masih di kampung. Tidur di rumah tante dan makan disana. Ayahku tidak memperdulikanku sama sekali. Ia hidup bahagia bersama Istri barunya dan aku dilantarkan olehnya. Hingga nenekku  datang menjemputku dari kampung sebelah dan ia mengasuhku. Setelah beberapa bulan aku diasuh oleh nenek, ku dengar kabar bahwa Ayahku meninggalkan Ibu tiriku dan menikahi wanita yang lain lagi. Namun, tidak lama setelah mereka menikah Ayahku jatuh sakit. Punggungnya bengkak, dan perutnya bernanah, bahkan suatu hari ia pernah mengeluarkan nanah  1 liter campur darah busuk. Kadang ia berteriak di tengah malam karena saking sakitnya yang ia derita. Satu minggu kemudian Ayahku meninggal dengan keadaan yang sangat mengerikan. Kulitnya berubah hitam pekat, tulangnya menjadi lembek dan badannya sangat ringan. Tetesan air mataku berjatuhan saat menatap wajah Ayahku yang terakhir kalinya. Dan hanya do’a yang ku bisa panjatkan kepada sang Ilahi untuk Ayahku yang pergi untuk selama-lamanya.

Selamat jalan Ayah…semoga Allah mempertemukan kita di surganya nanti, aminnn.