Kamis, 21 April 2016

Pulang ke Butta Kelahiran


Hari itu, matahari bersinar cerah, popohonan masih menyilaukan hijau daunnya,burung terbang di angkasa membawa sejuta senyuman akan kehadiran hari itu. Hari yang sangat indah penuh dengan Rahmat Allah yang maha kuasa dan maha pencipta. Hari itu juga hati memanggil untuk kembali ke tanah kelahiran butta bugis tercinta. Untuk melihat perkembangan tanah kelahiran, penduduknya, perekonomiannya, tata kotanya dan perkebunan yang ada di pedasaan. Hal itu yang membuat hati rindu pada tanah kelahiran yang tercinta. Tapi, sayangnya masih ada tanggung jawab yang harus ditunaikan di tanah rantau Ibu Kota Jakarta. sebuah Ibu Kota yang tidak pernah alfa banjir ketika musim hujan. Yah..itulah Jakarta. kata orang “bukan Jakarta kalau tidak  banjir”.

Di sebuah kursi teras rumah, saya duduk menyendiri memandang langit sore, langit yang begitu indah, matahari mulai terbenam menyembunyikan cahayanya di balik awan. Terdengant dering tunggal di HP yang ada dalam genggamanku “plung”. Dering itu menandakan bahwa ada sebuah pesan BBM. Dengan perlahan aku membuka isi pesan itu, pesan itu dari salah satu sahabat rantau dari Bugis Makassar. “Le, lu kapan balik ke kampung”.  Hmm…ternyata sahabatku yang satu ini menanyakan tentang pulang kampung ke halaman. Aku pun membalas pesan itu “InsyaAllah tanggal 1 juli”. Beberapa detik kemudian, ia membalas pesanku lagi “owh…yaudah kalo gitu bareng gua aja le, kebetulan gua juga pulang tanggal segitu”. Kata sahabatku dalam pesan singkat di BBM. “owh…okelah, bareng aja kalo gitu mah”. Akhirnya sore itu kami berdua sepakat untuk pulang bareng ke kampung halaman. Senangnya tiada terkira ketika ada rencana pulang kampung meskipun itu hanya beberapa hari saja. Bagaimana tidak, bakalan ketemu dengan sanak keluarga lagi. Dan bisa berlibur dengan mereka setelah lebaran Idul Fitri 1436 H.



Beberapa hari kemudian, aku ingatkan lagi ke sahabatku yang akan pulang bareng nanti “gimana nih, kapan nyari tiket pesawat buat pulang?” kataku dalam sebuah pesan singkat di BBM. “owh..iya gua udah nyari-nyari tiket nih, ada nih pesawat yang akan terbang menuju Makkassar tanggal 1 juli pkl. 16.40 WIB”. Kata sahabatku ketika membalas pesan singkat di BBM. Kemudian saya membalas lagi pesannya “Owh…okelah kalo gitu gua transfer ya duit gua ke lu”. Hari itu juga saya langsung ke bank transfer uang untuk beli tiket. 

Beberapa hari setelah saya transfer uang, ku selesaikan semua tugas dan kewajibanku. Ya..tugas dan kewajibanku tidak banyak-banyak amat, Cuma  ngajar dan kulaih saja. Dan langsung menuju halim perdana kusuma Jakarta pada hari selasa 29 juni 2015. Diantar oleh salah satu sahabat seperjuangan dari Bugis Makkassar pula dengan motor mio. Jiahaha…keren. Hehe…….

Satu jam berlalu, akhirnya nyampe juga di halim dengan selamat. Saya masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan sambil mengucapkan salam “Assalamu Alaikum”. Ku tunggu suara untuk menjawab salamku itu namun tak ada suara juga. Akhirnya ku ulang ke dua kalinya “Assalamu Alaikum”. Ya.. tetap saja nihil dan sepi. Akhirnya aku pun masuk langsung menuju kamar temanku tanpa ada seseorang di dalam rumah itu. Ku tatap perlahan ruangan itu yang hanya diramaikan dengan buku-buku. Ku baringkan tubuhku yang kelelahan dan tanpa sadar aku tertidur.

Tepat  pukul 14.00 WIB  saya terbangun dari tidur itu setelah mendengar suara  yang tandanya memanggil namaku “Suleeee”. Ya…itu adalah nama yang paling sering ditujukan kepadaku oleh teman-teman sebayaku. Mungkin biar lebih akrab aja sehingga mereka memanggilku Sule. Setelah terbangun saya menatap serius wajah siapa gerangan yang ada di hadapanku. Ya..ternyata dia adalah Akmal, pulang dari pelatihan pembuatan pesawat untuk lomba di Yogyakarta beberapa bulan ke depan. Akmal inilah yang akan saya temani pulang ke kampung halaman. Beberapa menit kemudian teman-temanku yang lain pun berdatangan. Ada jammil, Ahsan dan Hadi yang akan pulang bersama 1 jam kemudian menuju Makassar. Setalah semua berkumpul barulah berangkat ke bandara Halim Perdana  Kusumu Jakarta Timur. Setalah tiba di bandara, biasalah ya,, namanya juga anak muda sempat berfoto bareng dulu sebagai tanda persahabatan sampai akhir hayat.



Jam dinding menunjukkan pukul 17.00 WIB dan diwaktu itulah pesawat batik air mengangkut saya dan teman-teman menuju Makassar, Butta kelahiran tercinta. Dua jam kemudian akhirnya tiba di Makassar dan dijemput oleh Saiful (alumni MJH Boys juga  tahun 2014). Dan langsung menuju pantai losari. Ditempat itulah saya dan mereka berbagi cerita tentang pengalamn hidup selama 1 tahun berpisah setelah lulus SMA dan lulus dari Yayasan Muslim jabal haq (YMJH).  Ya… pertemuan itu menyimpan sebuah kenangan yang tidak akan pernah terlupakan sampai maut datang menjemput. Bagaiman tidak, mereka adalah sahabat sekaligus saudara yang dititipkan Allah.

Tak terasa 3 jam waktu dihabiskan di pantai Losari malam itu. Ya…mata mulai redup dan setengah watt. Dan akhirnya melanjutkan perjalanan menuju pondok pesantren Darul Istiqamah. Di tempat itulah saya dan teman-teman menginap. Setelah sampai di pon pes tersebut, rasa ngantuk mulai hilang, karena cerita hidup masing-masing mulai diutarakan. Ya…perjalanan hidup yang tentunya bersifat humoris sebagai seorang perantau, banyak liku-liku hidup yang dijalani dan malam itu pun ramai dengan suara ketawa ketiwi. Tapi, namanya juga mata yang haknya adalah untuk tertidur, akhirnya pada pukul 01.00 dini hari, suasana malam itu mulai sepi.

Keesokan harinya, saya dan teman-teman bersiap-siap untuk menuju kampung masing-masing. Akmal ke Wajo, Jammil ke Sinjai, sedangkan saya, Ahsan dan Hadi menuju Bulukumba. Ya..pagi yang cerah itu, menjadi saksi atas perpisahan kami yang ke dua kalinya, berpisah untuk bertemu keluarga setelah sekian lama merantau di Ibu Kota Negara. Dan alhamdulillah sampai di rumah masing-masing dengan selamat dan juga disambut meriah dengan keluarga tercinta.




Ini adalah pengalaman yang sangat luar biasa indah.

Jumat, 18 Maret 2016

Tangisan Palestina


Suara bom bagaikan petir datang menyambar
Menghancurkan tanah tercinta umat  islam
Tangisan mulai terdengar dan bergelombang nyaring di telinga
Merintih dan mengucapkan takbir
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar !!!



                        Deraian air mata mengiringi kepergiannya
                        Suara tangisan menemani pembaringannya
Mayat-mayat tak berdosa menjadi fakta
Kekejaman dan orogansi penguasa negeri
Hamparan tanah berubah menjadi merah oleh darah
Darah dari pejuang pembela Islam
Kini palestina bersedih, menangis dan merintih
Mereka yang tak berdosa menjadi sasaran
Dari kekejaman dan kebiadaban
                        Wahai… engkau saudara seimanku
                        Apakah engkau mendengar rintihan mereka?
                        Apakah engkau mendengar tangisan mereka?
                        Mereka yang berjuang dan berjihad di palestina
                        Untuk membela dan mempertahankan masjid Al-Aqsa
Wahai saudaraku…
Tahukah engkau, air mata mereka menjadi saksi bisu atas perjuangan mereka
Mereka dibantai oleh tentara-tentara Israel yang bersenjata

Mari Bersatu dan bertakbir untuk palestina

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar..!!!

Minggu, 13 Maret 2016

Untukmu Wahai Calon Makmumku


 Ku persembahkan untuk calon makmumku yang telah tertulis di lauhul mahfudz



Duhai Calon ''Makmum''ku ...



Apa kabar engkau disana ?
siapapun engkau ...
Semoga ALLAH senantiasa memberikan kesehatan kepadamu dan semoga kekuatan iman dan taqwa selalu melekat di dalam hatimu ...

Calon "makmum"ku ...
Aku tau ALLAH menunda waktu kita tuk bersama ...
ALLAH hanya memberi jeda tuk kita bisa mempersiapkan segalanya saat tiba kita bersama nanti ...
Bersama dalam satu atap dalam satu hati ...
Mengertilah calon makmumku ...
Aku mencintaimu ...
Aku membutuhkanmu ...
Mungkin aku tak dapat menyampaikan rasa cinta ini kepadamu secara langsung saat ini ...
Namun aku percaya ALLAH akan mencintaimu slalu dalam setiap rinai waktu yang kau jalani ...

Duhai Calon ''Makmum''ku ...
Jika memang kita berjodoh ALLAH pasti akan memberikan cinta di dalam hati kita di dalam hatiku dan di dalam hatimu dan jika memang kita tidak berjodoh ... ALLAH pasti sedang merencanakan yg terbaik untuk kita karena hati ini begitu mudah untuk dibolak-balikkan ...
ku serahkan rasa yang tiada sanggup dijadikan halal itu kepada Maha Yang Maha Memberi dan Memilikinya
biarkan Dia yang mengatur semuanya hingga keindahan itu datang pada waktunya karena ku ingin menjaga cintaku hanya untuk yang halal ...

Calon "makmum"ku ...
Aku tak menuntut banyak darimu ...
Aku tak memaksamu tuk membalas cintaku sekarang ...
Semua itu kuyakin akan tumbuh perlahan dalam hati tulusmu ...
Akan mekar layaknya bunga namun tetap terjaga dan takkan layu oleh panas matahari maupun oleh hujan yang setiap saat menerpa ...

Calon "makmum"ku ...
Mungkin kau tak mencintaiku dengan hatimu saat ini ...
Tapi janganlah kau pudarkan cintamu pada-NYA yang begitu mencintaimu ...
Yang memberikan nafas kehidupan ...
yang memberikan sempat padam tuk dapat berkarya ... yang menjadikan itu ibadahmu ...


Calon "makmum"ku ...
Hati ini akan selalu untukmu ...
Akan selalu kujaga untukmu ...
Kumohon jangan kau nodai ketulusan ini dengan sesuatu yang bisa kau buat sebagai alasan ...
Jangan kau hakimi hatiku dengan perasaan yang tak pasti

Calon "makmum"ku ...
Mungkin saat kau baca ini hatimu tak terketuk sama sekali
Mungkin kau menganggapku berlebihan dengan apa yang kurasakan ...
Sekali lagi maafkan aku calon makmumku ...
Ini hanya ungkapan hati yang aku miliki saat ini ...
Karena aku tak dapat berbicara langsung denganmu ...

Bagaimanapun itu ... aku hanya berharap ...
ALLAH senantiasa melindungmu ...
Senantiasa memelukmu ...
memudahkan langkahmu ...
Dan ALLAH akan membawamu padaku ...
saat kau telah siap menerimaku dengan apa adanya aku ...
Semoga ALLAH membuka jalan kemudahan itu calon makmumku ...

Jaga diri baik-baik calon makmumku ...
Aku merindukanmu ...
Akan kujaga baik-baik hati dan diriku hingga takdir mempertemukan kita kelak ...

Jadilah " BINTANG" halal buatku ...

" aku belum tentu menikah dengan orang yang aku cintai ... tapi aku akan mencintai siapapun yang menikah denganku karena dia adalah kekasih dunia akhirat "

Ya ALLAh ...
Bila Hamba menjadi pasangan seseorang
Izinkanlah diri hamba menjadi pelindung baginya
izinkanlah wajah hamba menjadi kesenangan baginya
izinkanlah mata hamba menjadi keteduhan baginya
izinkanlah pundak hamba menjadi tempat melepas keresahan baginya
izinkanlah setiap perkataan hamba menjadi kesejukan baginya ...

Ya ALLAH ...
Izinkanlah setiap pelukan menjadi jalan untuk lebih mendekat kepadaMu
izinkanlah setiap sentuhan menjadi perekat cinta kepadaMu
izinkanlah setiap pertemuan menjadikan kami bersyukur
kepadaMu

Aamiin Ya Rabbal 'alamin ...

Bunga-bunga cinta indah bersemi
diantara harap pinta padaNya
Ya ALLAH tautkanlah cinta di hati
berpadu indah dalam mihrab cinta

Dalam Mihrab Cinta ku berdo'a padanyan. aminnn




sumber : sharing-forum.blogspot.ac.id

Rabu, 09 Maret 2016

pemikiran-pemikiran Kaum Salafiyyah

            
            Salafiyyah ialah orang-orang yang mengidentifikasikan mereka dengan pemikiran para salaf. Salafiyyah muncul pada abad ke-4 Hijriyah. Mereka terdiri dari ulama mazhab Hanbali yang bependapat bahwa garis besar pemikiran mereka bermuara pada pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang menghidupkan ‘aqidah ulama salaf dan berusaha menerangi paham lainnya. Aliran ini muncul kembali pada abad ke-7 Hijriyah. Aliran ini dihidupkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah yang menyiarkannya dengan gencar. Ia menambahkan beberapa hal dengan mengaktualisasikan pemikiran paham ini sesuai dengan kondisi zamannya. Selanjutnya pada abad ke-12 Hijrah pemikiran serupa muncul kembali ke jazirah Arab, dihidupkan oleh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab. Kaum wahabi ini terus menerus mengkampanyekannya sehingga membangkitkan amarah sebagian ulama.
            Ulama mazhab Hanbali menyinggung pembicaraan tentang tauhid dan hubungannya dengan kubur. Mereka berbicara tentang ayat-ayat ta’wil dan tasybih. Hal inilah yang mereka munculkan pertama kali kepada pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Identifikasi ini didiskusikan oleh sebahagian tokoh-tokoh mazhab itu.
            Perselisihan terjadi antara mereka dan Asy’ariyyah, sebab mereka muncul ketika Asy’ariyyah mempunyai kekuasaan yang kuat. Masing-masing menganggap bahwa mereka menyeru kepada mazhab salaf. 

       Mereka mengkaji berbagai masalah kalam, seperti wahdaniyyah (keesaan Tuhan), sifat-sifat-Nya, perbuatan manusia, Al-Qur’an adalah makhluk atau bukan makhluk, serta berbagai sifat dan ayat yang mengandung penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.

1.   Keesaan Tuhan

Salaf memandang wahdaniyyah sebagai asas pertama Islam. Ia merupakan kebenaran yang tidak diragukan lagi. Mereka menginterprestasikan wahdaniyyah dengan suatu nterprestasi yang seacara keseluruhan sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh kaum muslimin pada umumnya. Akan tetapi, mereka menegaskna bahwa beberapa hal yang bertentangan dengan keesaan Tuhan, tidak diakui oleh jumhur kaum muslimin. Mereka misalnya berkeyakinan bahwa mengangkat perantara untuk mendekatkan diri (tawasul) kepada Allah dengan salah seorang hamba-Nya  yang telah meninggal bertentangan dengan keesaan Allah. Mereka juga berkeyakinan bahwa berziarah ke Raudhah seraya menghadap kepadanya menafikan keesaan-Nya. Menghadapkan diri (tawajjuh) dengan do’a kepada Allah sambil menghadap ke kubur seorang Nabi atau seorang wal bertentangan dengan keesaan-Nya. Demikian seterusnya, mereka meyakini bahwa hal itu merupakan mazhab salaf yang soleh sedangkan lainnya merupakan bid’ah yang dicelah dalam pengertian tauhid.
Keesan Alah sebagaiman ditegaskan ulama, mempunyai tiga cabang yaitu: keesaan dzat dan sifat, keesaan penciptaan, dan keesaan sebagai yang disembah.

 2.      Keesaan Dzat dan Sifat

Kaum muslimin sepakat bahwa Allah SWT maha esa; tidak ada sesuatu yang semisal dengan-Nya dan Dia Maha mendengar lagi maha melihat. Berkenaan dengan hal itu< Ibnu  Taimiyyah berkata “tauhid, tanzih, tasybih dan tajsim merupakan beberapa kata yang bermakna konotatif yang disebabkan oleh berbagai istilah para ahli ilmu kalam yang lainnya. Tiap-tiap kelompok memasukkan nama itu untuk suatu makna yang tidak dimaksudkan  kelompok lainnya. Mu’tazilah da kelompok lainnya memasukkan kata tauhid dan tanzih dengan pengertian peniadaan sifat, sedangkan kata tajzim dan tasybih mereka memasukkan sebagai penetapan sifat. Akibatnya, orang yang mengatakan bahwa Allah akan dapat dilihat atau Allah mempunyai kalam, menurut mereka, adalah seorang mujassim (antropomorfis). Banyak diantara kelompok yang membicarakan sifat-sifat Allah memasukkan tauhid tan tanzih (pensucian) sebagai peniadaan sifat kebaikan atau sebagian dari padanya. Sementara kata tajsim, dan tasybih mereka maksudkan sebagai penetapan sifat atau sebagian dari sifat-sifat itu. Sedangka kaum filosof memaksudkan kata tauhid sebagaimana yang dimaksudkan oleh golongan Mu’tazilah dengan tambahannya bahwa Tuhan tidak memliki sifat kecuali salabiyyah, atau sifat idhafiyyah, atau murakabah (yang tersusun) dari kedua sifat itu. Dimaksudkan dengan sifat salabiyyah seperti sifat qidam dan sfat baqa’, karena kedua sfat itu berarti tidak ada permulaan bagi Allah dan tidak ada atas akhir bagi-Nya. Sedangnkan yang dimaksud dengan sifat idhafiyyah seperti Allah adalah Tuhan semesta alam, atau pencipta langit dan bumi. Selanjutnya yang dimaksud dengan sifat murakkabah ialah berlainan dengan yang baru.
            Perbedaan pendapat ulama mengenai makna-makna ini tidak mengakibatka saling mengkafirkan. Karena hal itu merupakan perbedaan penalaran, bukan perbedaan pada hakikatnya. Kaum salaf tidak mengkafirkan seorang pun dari mereka yang menentangnya , tapi menganggap para penentang itu termasuk orang-orang yang sesat. Mereka memutuskan sesatnya para filososf, Mu’tazilah, kaum sufi yang mengatakan ittihad (manunggal dengan Tuhan) dan fana’ dalam dzat.

 3.  Kaum salaf dan Asy’ariyyah

 Bila kaum salaf, sebagaiman yang telah dijelaskna Ibnu Taimiyyah, memandang kelompok yang telah kami sebutkan itu termasuksesat, lalu bagaimanakah kaum salaf memandang dirinya sendiri? Ibnu Timiyyah menegaskan bahwa mazhab salaf ialah mazhab  yang menetapkan segala sesuatu yang terdapat di dalam A-Qur’an dan sunnah. Baik berupa sifat, berita, maupun kedaan. Allah berfirman “dan Dia maha mendengar lagi maha melihat (Qs. Al-Jasiyah 42:11)”, dan Dia maha mengetahui lagi maha kuasa (Qs. Ar-Rum, 30:54)”.
Demikianlah mereka menetapkan apa saja yang tersebut dalam Al-Qur’an atau sunnah tentang sifat-sifat Allah atau keadaan-Nya. Mereka menetapkan bagi Allah sfat-sifat: cinta, murka, benci, ridha, menyeru, berbicara, turun kepada manusia di bawah naungan awan, bersemayam di ‘Arsy, serta mempunyai wajah dan tangan tanpa menta’wilkan dan tanpa menafsirkan dengan selain pengertian yang zhahir itu. Hanya saja, semua sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat yang baru (makhluk). Tangan Tuhan tidak sama dengan tangan makhluk. Turunnya Allah tidak sama dengan turunnya mereka. Allah maha suci dari persamaan itu. Metode itulah yang dianggap sebagai metode ulama salaf yang soleh.
            Berkenaan dengan hal itu, Ibu Taimiyyah berkata :”yang benar adalah penapat para imam yang memproleh petunjuk, yaitu Allah disifati dengan apa saja yang disifatkan-Nya kepada diri-Nya sendiri, atau disifatkan leh Rasul-Nya tanpa melampaui Al-Qur’an dan hadits.” Dengan demikian, mereka tdiak termasuk orang-orang yag mengubah kalam Allah dari tempatnya, tidak termasuk orang-orang yang apabila disebut ayat-ayat Tuhan maka mereka tidak menundukkan diri karena tuli dan buta, serta tidak termasuk orang-orang yang tidak mengetahui Al-Qur’an kecuali sekedar angan-angan atau reka-rekaan saja.
            Dengan demikian, menurut Ibnu Taimiyyah, mazhab salaf menetapkan bahwa Alla mempunai “tangan” tanpa penjelasan bagaimana bentuknya dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya. Allah juga mempunyai “wajah” tanpa penjelasan bagaimana bentuknya. Allah “naik”, “turun” dan lainnya yang terdapat pada zhahirnash Al-Qur’an secara literal, bukan semata-mata zhahir dan bukan pula majazi (metaforis). Ibnu Tamiyyah menganggap bahwa mazhab itu bukan antropomorfisme dan bukan pula mihilisme. Berkenaan dengan hal itu, ia mengatakan “mazhab salaf berada di antara paham nihilism (meniadakan persamaan dengan makhluk-Nya). Dan paham antropomorfisme  (penyamaan Tuhan dengan makhluk-Nya). Mereke mempersamakan sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, sebagaimana  mereka tidak mempersamakan dzat Allah dengan dzat makhluk-Nya. Mereka juga tidak meniadakan dari Allah apa saja yang Dia sifatkan kepada diri-Nya sendiri, atau disifatkan leh Rasul-Nya. Dengan demikian, mereka tidak menafikan nama-nama Allah yang baik (asmaul husnah) dan sifat-sifat-Nya yang agung. Tidak pula mengubah kalam Tuhan dari posisinya, dan tidak mengingkari nama-nama Allah serta ayat-ayat-Nya. Masing-masing dari dua kelompok yang menafikan persamaan dan yang menetapkan persamaan dengan makhluk, sama-sama berada diantara peniadaan persamaan (ta’thil) an penetpan persamaan (tamtsil) dengan makhluk. “Ibnu Taimiyyah mengulang-ulang pengertian ini; kemudian dalam rangka menguatkannya, ia mengatakan “sesungguhnya Allah turun serta berada di atas dan di bawah tanpa penjelasan bagaiman caranya”.
            Keterangan-keterangan dari Al-Qur’an, sunnah Rasulullah, kaum salah, sahabat, tabi’in, dan para imam yang sempat ketemu dengan zaman keseatan dan pertentangan pandangan, tidak saling bertentangan. Tidak seorang pun dari mereka mengatakan bahwa Allah tidak berada di langit, tidak bersemayam di ‘Arsy dan bersemayam di semua tempat. Mereka tidak mengatakan bahwa semua tempat bagi Allah adalah sama, Allah tidak berada di dalam atau di luar alam, serta bersatu atau terpisah dari alam itu. Mereka tidak pula mengatakan bahwa tidak boleh membrikan isyarat secara visual kepada-Nya dengan jari tangan atau semisalnya.
            Berdasarkan penjelasan di atas, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahw mazhab salaf menetapkan apa saja yang terdapat dalam Al-Qur’an seperti Tuhan berada di atas, berada di bawah, di bawah, bersemayam di ‘Arsy, mempunyai tangan dan bawah, mencintai dan membenci, serta apa saja yang terdapat dalam sunnah tentang berbagai hal itu tanpa menta’wilkannya dan berpegang pada pengertian lahiriahnya secara literal.
            Namun, apakah ini benar-benar merupakan mazhab salaf? Menurut pendapat kami, sebenarnya pendapat tersebut pernah dikemukakan oleh ulama mazhab Hanbal pada abad ke-4 Hijrah. Mereka juga mengakui  bahwa pandangan itu merupakan pandangan mazhab salaf. Pada waktu itu, mereka dibantah oleh ulama lainnya. Mereka menyatakan, bahwa pandangan tersebut dapat mengakibatkan paham tasybih dan jismiyyah. Oleh karena itu, seorang imam dan faqih dari mazhab Hanbali, yaitu Al-Khatib ibn Al-Jauzi, menentang mereka dan menolak bahwa pandangan  itu merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Al-Jauzi mengatakan tentang hal itu:

saya melihat diantara teman-teman kami ada yang berbicara mengenai ilmu ushul secara tidak pantas. Mereka menyusun beberapa buku yang memperburuk citra mazhab Hanbali. Saya melihat mereka telah merosot ke peringkat orang awam. Mereka mengartikan sifat-sifat Allahs sesuai dengan tuntutan kebaikan. Mereka mendengar bahwa Allah menciptakan Nabi Adam sesuai dengan ga,bar diri-Nya. Mereka menetapkan bahwa Allah mempunyai bentuk dan wajah yang melebihi Dzat-Nya, mempunyai mulut, kesenangan, gigi, sinar pada wajahnya, dua tangan, jari tangan, telapak tangan, jari manis, jari jempol, dada, paha dua betis, dan dua kaki. Merekamengatakan; ‘kami tidak pernah mendengar penuuran bahwa Allah mempunyai kepala, mereka berpegang pada mkan zhahir nama-nama dan sifat-Nya. Mereka member nama sifat dengan penamaan yang dibuat-buat. Tidak ada dalil naqli maupun aqli bagi mereka pada penamaan itu. Mereka tidak memperhatikan nash-nash yang memalingkan pengertian lahiriah dan menuntuk kepada pengertian yang wajib bagi Allah. Mereka tidak merasa cukup dengan mengatakan bahwa nama-nama itu adalah sifat perbuatan, tetapi mengatakannya sifat dzat”.

            Ketika menetapkan nama-nama itu sebagai sifat, mereka berkata :’kami tidak mengartikan pengertian itu menurut pengertian bahasa, seperti tangan berarti hikmat dan kekuasaan. Kata ‘datang’ tidak diartikan dengan kebaikan dan kasih sayang, serta kata ‘betis’ dengan ketegasan. Bahkan, mereka mengatakan, ‘Kami tidak mengartikan semua itu dengan pengertian lahiriah yang telah dikenal’. Pengertian yang lahir inilah yang dikenal oleh banyak orang. Suatu kata diartikan menurut hakikatnya hanya jika hal itu memungkinkan. Namun, jika ada indikasi kepada makna lain, maka kata itu boleh diartika secara majazi (metaforis). Mereka keberatan terhadap tasybih dan menolak mereka mempunyai paham tersebut. Mereka berkata “kami adalah Ahl Al-Sunnah’. Pada hal, pembicaraan mereka jelas mengandung tasybih.
             Ibnu Al-Jauzi telah mengupas panjang lebar kepalsuan pendapat-pendapat yang mereka jadikan sandaran. Kritik keras yang dilontarkannya di atas sesungguhnya ditujukan kepada Al-Qadhi Abu Ya’la. Seorang faqih mazha Hanbali yang terkenal. Ia menjadi pusat sasaran kritik yang pedas, sehinggan sebagian fuqaha mazhab Hanbali berkata “Abu Ya’la benar-benar telah mencemari mazhab Hanbal dengan kotoran yang tidak dapat dibersihkan dengan air laut”. Pernyataan sperti itu dikatakan oleh Ibn Al-Zaghuni dari Mazhab Hanbali.
            Demikianlah ulama Hanbali menolak pandangan yang tersebar pada abad ke-4 dan abad ke-5 Hijrah ini. itulah sebabnya mazhab ini menjadi tidak popular, sampai Ibnu Taimiyyah menegaskan kembali pandangan inidengan penuh keberanian dan kekuatan. Pandangannya semakin menyebar oleh tekanan yang senantiasa menyudutkannya.
            Disini kami berpendapat bahwa klaim yang mengatakan pandangan-pandangan itu sebagai mazhab salaf  perlu ditinjau kembali. Kami telah melihat pandangan Ibnu Al-Jauzi mengenai pendapat itu ketika tersebar pada masanya.

 4.  Ta’wil dan Tafwih.

Pandangan di atas, menurut Ibnu Taimiyyah, membawa kepada kesimpulan bahwa sikap yang paling selamat adalah tafwidh (pasrah tanpa menta’wilkan) yang diklaimnya sebagai sikap para ulama salaf yang saleh. Hanya saja, ia menegaskan bahwa sifat-sifat tersebut tidaklah seperti sifat makhluk. Selanjutnya ia bersikap pasrah, tidak menafsirkannya. Upaya menafsirkannya, menurut pendapatnya, merupakan kesesatan. Ia bersandar kepada Firman Allah
Dialah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an. dan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang di dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata ‘kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semunya itu dari sisi Tuhan kami’, dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.  (Qs. Ali Imran :7)
           
            Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa dengan cara ini menggabungkan antara penafsiran dan sikap pasrah. Ia menafsirkan dengan pengertian yang zhahir, mensucikan Allah dari persamaan dengan makhluk. Yang baru dan bersikap pasra kepada-Nya mengenai bagaimana gambaran dan sifat-Nya. Ia berpendapat bahwa sahabat juga mengerti makna ayat-ayat mutasyabihat yang di dalamnya terdapat penyebutan sifat Allah berupa mempunyai tangan, kaki, wajah, bersemyam, turun ke langit dunia dan lain sebagainya. Para sahabat itu mengerti makna lahiriahnya dan tidak berusaha untuk mencar-cari tau tentang bagaimana gambarannya dan hakikatn-Nya, sebagamana mereka juga tidak berupaya untuk mengetahui hakikat Dzat-Nya.
            Inilah yang ditegaskan Ibnu Taimiyyah sebagai mazhab salaf. Akan tetapi, Al-Ghazali dalam hal tersebut berbeda pendapat dengannya. Dalam kitabnya “Iljam Al-‘Awam ‘an ‘Ilm Al-Kalam”, ia menegaskan bahwa lafadz-lafadz tentang Allah yang dipergunakan dalam susunan kalimat Al-Qur’an dan hadits Nabi tersebut mempunyai beberapa makna yang zhahir, yakni yang bersifat inderawi yang dapat kita lihat – dalam hal ini jelas mustahil bagi Allah – dan mempunyai beberapa makna metaforis yang popular di kalangan bangsa Arab tanpa melalui penta’wilan dan interprestasi.
            Berkenaan dengan dua bentuk pengertian di atas, Al-Ghazali mengatakan, “untuk mensucikan Allah, seseorang apabila mendengar kata “tangan”, “jari tangan” dan sabda Rasulullah SAW tentang Allah.
sesungguhnya Allah membuat adonan untuk membuat Nabi Adam dengan tangan-Nya sendiri. Hati orang mu’min berada di antara dua jari tangan Tuhan yang Maha Penyayang”.
 
Oleh karena itu, kami memandang metode Al-Maturudi, Ibn Al-Jauzi dan Al-Ghazali adalah metode yang lebih tepat. Buktinya para sahabats selalu menafsirkan ayat-ayat tentang Allah dengan pengertian metaforis yang popular, jika mereka kesulitan untuk mengartikannya secara hakiki.

 5.   Kemakhlukan Al-Qur’an

Kelompok yang menanamkan diri sebagai salaf terllibat dalam pembicaraan mengenai hal itu, baik pada masa lampau maupun pada masa sekarang ini. mereka menegaskan, bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah. Allah berbicara dan menurunkan wahyu melalui Al-Qur’an Kepada Nabi-Nya yang mulia. Qiraat Qur’an merupakan suara pembaca yang terdengar, dan qiraat semacam itu bukan Al-Qur’an melainkan bacaannya. Al-Qur’an adalah kalam Allah sesuai firman Allah:

“Dan jika seseorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindugilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat aman baginya”. (Qs. At-Taubah :6).

            Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa kaum salaf berkata, “Allah senantiasa berbicara dengan bahasa Arab bila Dia menghendaki, sebagaimana  Dia berbicara tentang Al-Qur’an dengan bahasa Arab. Pembicaraan-Nya adalah Dia, bukan makhluk yang terpisah dari-Nya. Nama-nama Allah yang baik dan kitab-kitab yang diturunkan-Nya bukan makhluk, karena Allah yang mengatakanny”.
            Ibnu Taimiyyah memandang tidak ada hubungan antara Al-Qur’an sebagai firman Allah yang  bukan makhluk dan ke-qadim-an Al-Qur’an. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah dan bukan makhluk tanpa memutuskan bahwa ia qadim. Ia berkata, “Golongan salaf secara sepakat mengatkan bahwa firman Allah yang diturunkan itu tidak dapat diciptakan. Perkataan itu membuat sebagian orang menduga mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah qadim. Selanjutnya Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa Al-Qur’an bukanlah sifat kalam yang qadim, yang berdiri pada Dzat Allah. Ia mengatakan “kalam Allah qadim ketika Dia berbicara dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Namun, ketika dikatakan bahwa Allah memanggil dan berbicara dengan suara, maka tidak berarti suara itu qadim. Bila Allah tekah membicarakan Al-Qur’an, taurat dan injil, maka mereka tidak bisa menolak bahwa Allah mengatakan huruf “ya” sebelum huruf ‘ain.
            Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa sifat kalam itu qadim, dan kalam Allah yang dipergunakan untuk berbicara dengan makhluk-Nya seperti Al-Qur’an, taurat dan injil bukanlah makhluk-Nya, tetapi tidak pula qadim.

 6.   Keesaan dalam penciptaan

Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya. Dalam menciptakannya, Allah tidak mempunyai sekutu dan tidak ada penentang terhadap kekuasaan-Nya. Tidak ada kehendak sang pencipta. Bahkan segala sesuatu dan segala perbuatan berasal dari Allah dan kepada-Nya-lah makhluk kembali.

 7.   Keterpaksaan dan Ikhtiar

Ibnu Taimiyyah berbeda pendapat dengan Asy’ariyyah. Ia menganggap mereka sebagai Jabariyyah. Ia mengeritik mereka tentang pembedaan antara perbuatan dan kasab. Mereka beranggapan bahwa perbuatan diciptakan oleh Allah dan kasab adalah milik hamba.
Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa mazhab salaf ialah mengimani qadar yang baik  maupun yang buruk, kekusaan Allah dan kehendak-Nya yang bersifat mutlak. Allah menciptakan hamba dan segenap potensi yamg dimilikinya, sedangkan hamba melakukan apa saja yang dikehendakinya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyyah berkata :” seyogyanya diketahui  bahwa menurut mazhab salaf, Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu; Allah menciptakan hamba sebagai makhluk berkeluh resah dan kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia amat kikir.
            Ibnu Taimiyyah mengakui bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak dan hamba mempunyai daya serta merasakan efek kekuasaan Allah itu. Dengan demikian Ibnu taimiyyah mengakui tiga hal, yaitu:
1.      Allah adalah pencipta segala sesuatu.
2.      Hamba adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya serta mempunyai kemauan da kehendak yang sempurna yang membuatnya bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
3.      Allah memudahkan, meridhoi dan menyukai perbuatan bauk, serta mempersulit perbuatan buruk dan tidak menyukainya.

Masalah yang muncul ialah bagaiman Ibnu Taimiyyah mengkompromikan antara beberapa kenyataan yang saling bertentangan ini? bagaimana a mengkompromikan antara keadlian Allah SWT. Dalam menyiksa orang yang berbuat jahat dan memberikan pahala kepada orang yang berbuat kebaikan, sedangkan semua ini merupakan milik Allah.
      Jawabnya, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa perbuatan hamba dihubungkan kepada hamba itu sendiri karena ia memliki potensi, dan dihubungkan kepada Allahd engan anggapan bahwa Allah menciptakan potensi itu.
      Perbuatan hamba disandarkan kepada Allah dilihat dari segi Allah adalah pencipta sebab perbuatan itu, yaitu kemmapuan hamba yang ada pada dirinya. Dengan pendapat ini, Ibnu Taimiyyah memiliki pesamaan pandangan yang cukup besar  dengan Mu’tazilah. Lebih dekat kepada kebenaran daripada Asy’ariyyah. Hanya saja, ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah dalam dua hal, yaitu:
1.      Mengenai tidak adanya keterkaitan antara perintah dan kehendak.
2.      Ibnu Taimiyyah membedakan antara ridho, suka dan kehendak.

Kami memandang Mazhab Ibnu Taimiyyah dalam hal itu merupakan jalan tengah antar Mu’tazilah dan Asy’ariyyah.

 8Sebab Perbuatan Allah.

Berkaitan dengan masalah ini, ulama mengemukakan masalah sebab bagi perbuatan-perbuatan Allah. Apakah Allah melakukan perbuatan-Nya dan emnciptakan apa yang diciptakan-Nya tanpa ada sebab yang mendorong-Nya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
1.      Pendapat Asy’ariyyah yang mengatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu bukan karena suatu alasan tertentu.
2.      Pendapat yang menagtakan bahwa Allah menciptakan makhluk, memerintahkan berbagai perintah dan melarang berbagai larangan disebabkan suatu hikmah yang terpuji. Ini adalah pendapat Maturidiyyah.
3.      Pendapat Mu’tazlah yang berpandangan bahwa Allah tida melakukan tindakan, perintah, dan larangan kecuali yang baik.

Ibnu Taimiyyah menolak pandangan ini. ia mengatakan bahwa pendapat salaf jelas-jelas berlainan dengan pendapat ini. berkenaan dengan kelompok yang memegang pendapat ketiga ini, ia mengakatakn “mereka menganalogikan perbuatan Tuhan dengan sesuatu yang baik dan yang buruk dari hamba. Mereka mengharamkan bagi Allah apa yang mereka haramkan bagi hamba. Mereka menanamkannya sebagai keadilan dan kebijaksanaan, padahal akal mereka tidak sanggup menjangkau pengetahuan tentang hikanh-Nya. Mereka tidak menetapkan kehendak dan kekuasaan yang mutlak bagi Allah. Mereka tidak menetapkan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Mereka tidak mengatakan bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah terjadi, sedang apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.”

9.    Keesaan dalam Ibadah

Wahdaniyyah dalam ibadah berarti seorang hamba tidak mengarahkan ibadahnya kepada selain Allah. Wahdaniyyah tersebut menuntut dua hal, yaitu :
1. Seseorang tidak menyembah sselain Allah dan tidak mengakui ketuhanan selain Allah. Siapapun yang menyekutukan seseorang atau sesuatu bersama Allah maka ia telah musyrik.

2.   Kita menyembah Allah berdasarkan apa yang telah disyari’atkannya melalui para Rasulnya. Kita tidak mnyembah Allah kecuali dengan ibadah yang wajib, yang sunnah, atau sesuatu yang mubah serta dimasudkan untuk ketaatan dan kesyukuran kepada Allah.
Ibnu Taimiyyah yang dikenal sebagai pemegang panji madzhab ulama salaf mendasarkan hal ini pada 3 hal :
a.     Larangan mendekatkan diri kepada Allah melalui orang orang yang saleh dan para wali
b.   Larangan meminta pertolongan dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ( tawasul) orang      orang yang telah meninggal dunia dan lainnya.
c.  Larangan berziarah ke makam orang orang saleh dan para nabi untuk minta berkah dan mengkultuskannya.
  


           

DAFTAR PUSTAKA


Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah. 2011. Aliran politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Tangerang : Gaya Media Pratama.

Selasa, 12 Januari 2016

Ayah, Jangan Lantarkan Aku


Aku adalah anak ke dua dari tiga bersaudara aku biasa dipanggil Aco. Ayahku adalah seorang petani dan Ibuku seorang Ibu rumah tangga. Aku bahagia punya keluarga yang sederhana dan selalu berkumpul dalam setiap waktu. Main bareng dengan adik dan abang. Suatu hari Ayah berangkat kerja ke kebun membawa cangkul yang telah  disiapkannya dua hari yang lalu. Ketika ia mulai melangkahkan kakinya keluar rumah aku berlari dan memeluknya “Ayah..aku sayang Ayah, Ayah yang kuat ya kerjanya”. Kataku dengan penuh rasa bahagia. “Iya nak, Ayah akan bekerja untuk kalian, Ibu, adik dan abangmu. Kamu jangan jadi anak nakal ya, harus  jadi anak yang baik”. Kata Ayahku dengan suara yang lembut. Air mataku menetes membasahi pipiku setelah aku mendengar nasehat Ayahku. Aku memeluknya dengan pelukan erat “Iya Yah, aku janji aku akan jadi anak yang baik”. Kataku dengan suara yang bersedu-sedu. Aku melepas pelukan dari Ayahku, dan Ayahku pergi membawa cangkulnya. Ku tatap langkah demi langkah kaki Ayahku. Semakin jauh Ayahku semakin menghilang dari pandanganku.  Setelah Ayah tak terlihat lagi dari pandanganku, aku masuk ke dalam rumah menemui Ibu yang sedang memasak. “bu, Ibu  lagi masak apa hari ini?” tanyaku kepada Ibu. “nih, Ibu lagi masak sayur sama nasi”. Jawab Ibuku sambil tersenyum. Perlahan aku memperhatikan senyuman Ibu, terlihat bahagia yang sangat mendalam yang aku rasakan saat menatap senyuman Ibu. Ibuku mirip dengan adikku yang paling kecil, Lela. “Ibu, boleh gak aku bantu Ibu masak? Laki-laki gak ada salahnya kan kalau belajar masak?”. Tanyaku kepada Ibu. Ibu tersenyum kembali mendengar  tawaranku untuk membantunya memasak. “iya nak, boleh. Laki-laki gak ada salahnya kok kalau belajar masak”. Kata Ibu dengan wajah yang terlihat bahagia. “kebetulan Ibu mau ke warung  beli garam sama bawang, nasi dan sayurnya kamu yang selesaikan masaknya ya nak” kata Ibu. “iya bu siap” kataku dengan semangat. Ibu pun bergegas ke warung dan aku melanjutkan memasak sayur dan nasi.

            Dua puluh menit kemudian, aku menunggu kedatangan Ibu dari warung. Kebetulan masakannya sudah aku selesaikan. “ibu mana ya  kok lama bangat ke warung?”. Hatiku bertanya-tanya kemana Ibu. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki “tolong…tolong…tolong…ada orang pingsan”. Mendengar suara itu aku bergegas pergi dan berlari menuju sumber suara itu. Seteleh sampai, pandanganku tertuju pada sosok seorang wanita yang terbaring tak berdaya di tengah jalan. Lalu aku berlari menghampirinya. Dan ternyata ia adalah Ibuku. Tanpa sadar aku berteriak “Ibu…Ibu…Ibu…Ibu kenapa? Bangun bu”. Teriakku sambil memeluk Ibu. Warga kampung mulai berdatangan dan membantu mengantarkan Ibu pulang ke rumah. Aku langsung berlari ke kebun tempat Ayahku bekerja. Kebetulan di rumah ada abang dan adikku serta tetanggaku yang menjaga ibu yang masih dalam keadaan pingsan. Selama ini, aku tak pernah berani ke kebun sendirian karena banyak babi yang berkeliaran di kebun. Tapi kali ini, aku tak merasa takut lagi demi Ibuku. Aku terus berlari tanpa menghiraukan apa yang ada di depanku. Dan akhirnya aku pun tiba di kebun tempat Ayah bekerja “Ayah…Ayah… pulang Yah, Ibu lagi pingsan di rumah” teriakku saat memanggil Ayah. “apa nak, Ibu pingsan ?!” kata Ayah dengan kaget. “iya yah, Ibu pingsan”. Kataku. Seketika itu, Ayah bergegas pergi dan berlari dan melemparkan cangkulnya ke arah kanannya dan tidak menghiraukannya lagi. Aku pun menyusul Ayah pulang ke rumah. Setelah tiba di rumah, warga mulai berdatangan ke rumahku untuk menjenguk Ibuku. Aku pun masuk ke dalam rumah dengan langkah yang cepat. Ku lihat Ayahku memeluk Ibuku dalam keadaan lemah tak berdaya “Ibu kenapa bu? Kok bisa begini?” kata Ayahku kepada Ibuku.  Namun, ibuku tetap saja terdiam membisu tanpa mengucapkan satu kata dari bibirnya. Tetangga-tetanggaku yang ada dalam ruangan itu menangis melihat ayahku. Mereka mengira bahwa Ibuku tak akan bertahan hidup lebih lama lagi di dunia ini. “sabar ya nak, insyaAllah nanti istrimu akan sadar lagi, gak usah khawatir” kata nenekku yang berusaha menenangkan Ayahku.

Satu jam kemudian, Ibuku sadar dan menggenggam tangan ayahku. Aku mendekati Ibuku, ia menangis saat melihatku dan ke dua saudaraku. Ia tetap membisu tak ada kata yang mampu ia ucapkan. Sampai satu minggu kemudian, Ibuku tetap tak mampu mengeluarka satu kata pun dari mulutnya. Ketika itu, mentari mulai terlihat dibalik gunung, ku tatap Ibuku dengan tatapan tajam karena mukanya mulai terlihat pucat “Ibu, Ibu kok wajahnya jadi pucat?” tanyaku kepada Ibu. Tiba-tiba Ayah menepuk punggungku dari belakang “Apa? Wajah ibumu pucat?!”. Kata Ayahku dengan kaget. Ayah menggenggam tangan Ibu saat itu dan mengusap air mata Ibu yang terus mengalir di pipinya. “ibu yang kuat ya, InsyaAllah Ibu akan sembuh kok, Ayah akan tetap do’akan Ibu”. Kata Ayah kepada Ibu. Namun, Ibu masih tetap terdiam membisu dan menatap tajam wajah Ayahku. Makin lama mata Ibu mulai tertutup dan air matanya berhenti mengalir. Seketika itu pula Ayahku makin menggenggam erat tangan ibuku, aku duduk disebelah kiri Ibu. Air mata ayahku makin deras dan berteriak “Ibu…Ibu..Ibu..” aku kaget mendengar Ayah, “ada apa ini? kok Ayah berterika sekencang itu” tanyaku dalam hati. Ternyata Ibuku telah tiada. Ia pergi meninggalaknku, meninggalkan Ayah dan ke dua saudaraku.  Aku menangis memeluk ibu yang tak bernyawa lagi, adikku Lela dan abangku pun memeluk Ibu sambil menangis atas kepergian Ibu selama-lamanya.

Sebulan kemudian, aku hidup tanpa kasih sayang seorang Ibu. Aku dan kedua saudaraku jadi anak yatim. Aku pun harus mengurus adikku Lela yang baru berumur  dua tahun. Ayahku tetap bekerja sebagai seorang petani. Kami menjalani hidup tanpa cinta dan kasih sayang seorang Ibu. setelah kepergian Ibu, Ayahku mulai mendekati perempuan lain untuk menggantikan sosok Ibuku dalam hidupku. Tapi aku rasa, tak ada wanita yang mampu menggantikan Ibu dalam hidupku meskipun ia telah tiada. Tapi aku tidak bisa melarang Ayahku. Dan akhirnya Ayahku pun menikah dengan  seorang perempuan tetanggaku. Dan kini aku dan kedua saudara ku jadi anak tiri perempuan itu. Seminggu dua minggu keluarga baru kami tetap hangat. Namun, memasuki minggu ke-3, Ibu tiriku mulai terlihat berbeda dari biasanya, kelembutannya mulai terkikis. Dan Ayahku tak pernah peduli denganku lagi dan kedua saudaraku. Suatu hari Ibu tiriku memerintahku untuk mencari kayu bakar “Aco, hari ini kamu ke kebun sama abang dan adikmu cari kayu bakar, lihat tuh kayu bakar kita udah mulai berkurang. Kalau tidak ada kayu bakar maka kalian tidak bisa makan!!” kata Ibu tiriku dengan suara yang keras. “tapi bu, adikku masih kecil mana mungkin kami mengajaknya ke kebun mencari kayu bakar bu”. Kataku kepada Ibu tiriku. “bodoh amat, intinya hari ini harus ada kayu bakar” kata Ibu tiriku. Akhinya aku minta abangku untuk tetap di rumah sama adikku. Dan aku ke kebun mencari kayu bakar. Setelah pulang, aku menatap ayahku yang sedang duduk bersama ibu tiriku di teras rumah. Namun ayahku tak memperlihatkan senyumnya seperti dahulu, malah mukanya terlihat sangat membenciku. Aku gak tau dimana salahku hingga Ayahku berubah sperti ini.

Satu tahun kemudian,  aku dan kedua saudaraku hidup dengan Ibu tiri dan Ayah yang tidak memberikan cinta dan kasih sayangnya lagi. Hingga akhirnya aku dan kedua saudaraku dilantarkan oleh Ayah dan tidak memperdulikanku lagi. Adikku Lela diasuh oleh seorang wanita yang tidak aku kenal. Dan abangku pun pergi merantau ke luar negeri dan aku tak tau di Negara mana ia pergi mencari kehidupan. Hanya  aku yang masih di kampung. Tidur di rumah tante dan makan disana. Ayahku tidak memperdulikanku sama sekali. Ia hidup bahagia bersama Istri barunya dan aku dilantarkan olehnya. Hingga nenekku  datang menjemputku dari kampung sebelah dan ia mengasuhku. Setelah beberapa bulan aku diasuh oleh nenek, ku dengar kabar bahwa Ayahku meninggalkan Ibu tiriku dan menikahi wanita yang lain lagi. Namun, tidak lama setelah mereka menikah Ayahku jatuh sakit. Punggungnya bengkak, dan perutnya bernanah, bahkan suatu hari ia pernah mengeluarkan nanah  1 liter campur darah busuk. Kadang ia berteriak di tengah malam karena saking sakitnya yang ia derita. Satu minggu kemudian Ayahku meninggal dengan keadaan yang sangat mengerikan. Kulitnya berubah hitam pekat, tulangnya menjadi lembek dan badannya sangat ringan. Tetesan air mataku berjatuhan saat menatap wajah Ayahku yang terakhir kalinya. Dan hanya do’a yang ku bisa panjatkan kepada sang Ilahi untuk Ayahku yang pergi untuk selama-lamanya.

Selamat jalan Ayah…semoga Allah mempertemukan kita di surganya nanti, aminnn.