Salafiyyah ialah orang-orang yang
mengidentifikasikan mereka dengan pemikiran para salaf. Salafiyyah muncul pada
abad ke-4 Hijriyah. Mereka terdiri dari ulama mazhab Hanbali yang bependapat
bahwa garis besar pemikiran mereka bermuara pada pemikiran Imam Ahmad bin
Hanbal yang menghidupkan ‘aqidah ulama salaf dan berusaha menerangi paham
lainnya. Aliran ini muncul kembali pada abad ke-7 Hijriyah. Aliran ini
dihidupkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah yang menyiarkannya dengan
gencar. Ia menambahkan beberapa hal dengan mengaktualisasikan pemikiran paham
ini sesuai dengan kondisi zamannya. Selanjutnya pada abad ke-12 Hijrah
pemikiran serupa muncul kembali ke jazirah Arab, dihidupkan oleh Muhammad Ibn
‘Abdul Wahhab. Kaum wahabi ini terus menerus mengkampanyekannya sehingga
membangkitkan amarah sebagian ulama.
Ulama mazhab Hanbali menyinggung
pembicaraan tentang tauhid dan hubungannya dengan kubur. Mereka berbicara
tentang ayat-ayat ta’wil dan tasybih. Hal inilah yang mereka munculkan pertama
kali kepada pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Identifikasi ini didiskusikan oleh
sebahagian tokoh-tokoh mazhab itu.
Perselisihan terjadi antara mereka
dan Asy’ariyyah, sebab mereka muncul ketika Asy’ariyyah mempunyai kekuasaan
yang kuat. Masing-masing menganggap bahwa mereka menyeru kepada mazhab salaf.
Mereka
mengkaji berbagai masalah kalam, seperti wahdaniyyah (keesaan Tuhan),
sifat-sifat-Nya, perbuatan manusia, Al-Qur’an adalah makhluk atau bukan
makhluk, serta berbagai sifat dan ayat yang mengandung penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya.
1. Keesaan Tuhan
Salaf memandang wahdaniyyah sebagai asas pertama
Islam. Ia merupakan kebenaran yang tidak diragukan lagi. Mereka
menginterprestasikan wahdaniyyah dengan suatu nterprestasi yang seacara
keseluruhan sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh kaum muslimin pada umumnya.
Akan tetapi, mereka menegaskna bahwa beberapa hal yang bertentangan dengan
keesaan Tuhan, tidak diakui oleh jumhur kaum muslimin. Mereka misalnya
berkeyakinan bahwa mengangkat perantara untuk mendekatkan diri (tawasul) kepada
Allah dengan salah seorang hamba-Nya
yang telah meninggal bertentangan dengan keesaan Allah. Mereka juga
berkeyakinan bahwa berziarah ke Raudhah seraya menghadap kepadanya menafikan
keesaan-Nya. Menghadapkan diri (tawajjuh) dengan do’a kepada Allah sambil menghadap
ke kubur seorang Nabi atau seorang wal bertentangan dengan keesaan-Nya.
Demikian seterusnya, mereka meyakini bahwa hal itu merupakan mazhab salaf yang
soleh sedangkan lainnya merupakan bid’ah yang dicelah dalam pengertian tauhid.
Keesan Alah sebagaiman ditegaskan ulama, mempunyai
tiga cabang yaitu: keesaan dzat dan sifat, keesaan penciptaan, dan keesaan
sebagai yang disembah.
2. Keesaan Dzat dan Sifat
Kaum muslimin sepakat bahwa Allah SWT maha esa;
tidak ada sesuatu yang semisal dengan-Nya dan Dia Maha mendengar lagi maha
melihat. Berkenaan dengan hal itu< Ibnu
Taimiyyah berkata “tauhid, tanzih, tasybih dan tajsim merupakan beberapa
kata yang bermakna konotatif yang disebabkan oleh berbagai istilah para ahli ilmu
kalam yang lainnya. Tiap-tiap kelompok memasukkan nama itu untuk suatu makna
yang tidak dimaksudkan kelompok lainnya.
Mu’tazilah da kelompok lainnya memasukkan kata tauhid dan tanzih dengan
pengertian peniadaan sifat, sedangkan kata tajzim dan tasybih mereka memasukkan
sebagai penetapan sifat. Akibatnya, orang yang mengatakan bahwa Allah akan
dapat dilihat atau Allah mempunyai kalam, menurut mereka, adalah seorang
mujassim (antropomorfis). Banyak diantara kelompok yang membicarakan
sifat-sifat Allah memasukkan tauhid tan tanzih (pensucian) sebagai peniadaan
sifat kebaikan atau sebagian dari padanya. Sementara kata tajsim, dan tasybih
mereka maksudkan sebagai penetapan sifat atau sebagian dari sifat-sifat itu.
Sedangka kaum filosof memaksudkan kata tauhid sebagaimana yang dimaksudkan oleh
golongan Mu’tazilah dengan tambahannya bahwa Tuhan tidak memliki sifat kecuali
salabiyyah, atau sifat idhafiyyah, atau murakabah (yang tersusun) dari kedua
sifat itu. Dimaksudkan dengan sifat salabiyyah seperti sifat qidam dan sfat
baqa’, karena kedua sfat itu berarti tidak ada permulaan bagi Allah dan tidak
ada atas akhir bagi-Nya. Sedangnkan yang dimaksud dengan sifat idhafiyyah
seperti Allah adalah Tuhan semesta alam, atau pencipta langit dan bumi.
Selanjutnya yang dimaksud dengan sifat murakkabah ialah berlainan dengan yang
baru.
Perbedaan pendapat ulama mengenai
makna-makna ini tidak mengakibatka saling mengkafirkan. Karena hal itu
merupakan perbedaan penalaran, bukan perbedaan pada hakikatnya. Kaum salaf
tidak mengkafirkan seorang pun dari mereka yang menentangnya , tapi menganggap
para penentang itu termasuk orang-orang yang sesat. Mereka memutuskan sesatnya
para filososf, Mu’tazilah, kaum sufi yang mengatakan ittihad (manunggal dengan
Tuhan) dan fana’ dalam dzat.
3. Kaum salaf dan Asy’ariyyah
Bila kaum
salaf, sebagaiman yang telah dijelaskna Ibnu Taimiyyah, memandang kelompok yang
telah kami sebutkan itu termasuksesat, lalu bagaimanakah kaum salaf memandang
dirinya sendiri? Ibnu Timiyyah menegaskan bahwa mazhab salaf ialah mazhab yang menetapkan segala sesuatu yang terdapat
di dalam A-Qur’an dan sunnah. Baik berupa sifat, berita, maupun kedaan. Allah
berfirman “dan Dia maha mendengar lagi maha melihat (Qs. Al-Jasiyah 42:11)”,
dan Dia maha mengetahui lagi maha kuasa (Qs. Ar-Rum, 30:54)”.
Demikianlah mereka menetapkan apa saja yang tersebut
dalam Al-Qur’an atau sunnah tentang sifat-sifat Allah atau keadaan-Nya. Mereka
menetapkan bagi Allah sfat-sifat: cinta, murka, benci, ridha, menyeru,
berbicara, turun kepada manusia di bawah naungan awan, bersemayam di ‘Arsy,
serta mempunyai wajah dan tangan tanpa menta’wilkan dan tanpa menafsirkan
dengan selain pengertian yang zhahir itu. Hanya saja, semua sifat-sifat itu
tidak sama dengan sifat-sifat yang baru (makhluk). Tangan Tuhan tidak sama
dengan tangan makhluk. Turunnya Allah tidak sama dengan turunnya mereka. Allah
maha suci dari persamaan itu. Metode itulah yang dianggap sebagai metode ulama
salaf yang soleh.
Berkenaan dengan hal itu, Ibu
Taimiyyah berkata :”yang benar adalah penapat para imam yang memproleh petunjuk,
yaitu Allah disifati dengan apa saja yang disifatkan-Nya kepada diri-Nya
sendiri, atau disifatkan leh Rasul-Nya tanpa melampaui Al-Qur’an dan hadits.”
Dengan demikian, mereka tdiak termasuk orang-orang yag mengubah kalam Allah
dari tempatnya, tidak termasuk orang-orang yang apabila disebut ayat-ayat Tuhan
maka mereka tidak menundukkan diri karena tuli dan buta, serta tidak termasuk
orang-orang yang tidak mengetahui Al-Qur’an kecuali sekedar angan-angan atau
reka-rekaan saja.
Dengan demikian, menurut Ibnu
Taimiyyah, mazhab salaf menetapkan bahwa Alla mempunai “tangan” tanpa
penjelasan bagaimana bentuknya dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya. Allah
juga mempunyai “wajah” tanpa penjelasan bagaimana bentuknya. Allah “naik”,
“turun” dan lainnya yang terdapat pada zhahirnash Al-Qur’an secara literal,
bukan semata-mata zhahir dan bukan pula majazi (metaforis). Ibnu Tamiyyah
menganggap bahwa mazhab itu bukan antropomorfisme dan bukan pula mihilisme.
Berkenaan dengan hal itu, ia mengatakan “mazhab salaf berada di antara paham
nihilism (meniadakan persamaan dengan makhluk-Nya). Dan paham
antropomorfisme (penyamaan Tuhan dengan
makhluk-Nya). Mereke mempersamakan sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya,
sebagaimana mereka tidak mempersamakan
dzat Allah dengan dzat makhluk-Nya. Mereka juga tidak meniadakan dari Allah apa
saja yang Dia sifatkan kepada diri-Nya sendiri, atau disifatkan leh Rasul-Nya.
Dengan demikian, mereka tidak menafikan nama-nama Allah yang baik (asmaul
husnah) dan sifat-sifat-Nya yang agung. Tidak pula mengubah kalam Tuhan dari
posisinya, dan tidak mengingkari nama-nama Allah serta ayat-ayat-Nya.
Masing-masing dari dua kelompok yang menafikan persamaan dan yang menetapkan
persamaan dengan makhluk, sama-sama berada diantara peniadaan persamaan (ta’thil)
an penetpan persamaan (tamtsil) dengan makhluk. “Ibnu Taimiyyah mengulang-ulang
pengertian ini; kemudian dalam rangka menguatkannya, ia mengatakan
“sesungguhnya Allah turun serta berada di atas dan di bawah tanpa penjelasan
bagaiman caranya”.
Keterangan-keterangan
dari Al-Qur’an, sunnah Rasulullah, kaum salah, sahabat, tabi’in, dan para imam
yang sempat ketemu dengan zaman keseatan dan pertentangan pandangan, tidak
saling bertentangan. Tidak seorang pun dari mereka mengatakan bahwa Allah tidak
berada di langit, tidak bersemayam di ‘Arsy dan bersemayam di semua tempat.
Mereka tidak mengatakan bahwa semua tempat bagi Allah adalah sama, Allah tidak
berada di dalam atau di luar alam, serta bersatu atau terpisah dari alam itu.
Mereka tidak pula mengatakan bahwa tidak boleh membrikan isyarat secara visual
kepada-Nya dengan jari tangan atau semisalnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, Ibnu
Taimiyyah menegaskan bahw mazhab salaf menetapkan apa saja yang terdapat dalam
Al-Qur’an seperti Tuhan berada di atas, berada di bawah, di bawah, bersemayam
di ‘Arsy, mempunyai tangan dan bawah, mencintai dan membenci, serta apa saja
yang terdapat dalam sunnah tentang berbagai hal itu tanpa menta’wilkannya dan
berpegang pada pengertian lahiriahnya secara literal.
Namun, apakah ini benar-benar
merupakan mazhab salaf? Menurut pendapat kami, sebenarnya pendapat tersebut
pernah dikemukakan oleh ulama mazhab Hanbal pada abad ke-4 Hijrah. Mereka juga
mengakui bahwa pandangan itu merupakan
pandangan mazhab salaf. Pada waktu itu, mereka dibantah oleh ulama lainnya.
Mereka menyatakan, bahwa pandangan tersebut dapat mengakibatkan paham tasybih
dan jismiyyah. Oleh karena itu, seorang imam dan faqih dari mazhab Hanbali,
yaitu Al-Khatib ibn Al-Jauzi, menentang mereka dan menolak bahwa pandangan itu merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu
Al-Jauzi mengatakan tentang hal itu:
“saya
melihat diantara teman-teman kami ada yang berbicara mengenai ilmu ushul secara
tidak pantas. Mereka menyusun beberapa buku yang memperburuk citra mazhab Hanbali.
Saya melihat mereka telah merosot ke peringkat orang awam. Mereka mengartikan
sifat-sifat Allahs sesuai dengan tuntutan kebaikan. Mereka mendengar bahwa
Allah menciptakan Nabi Adam sesuai dengan ga,bar diri-Nya. Mereka menetapkan
bahwa Allah mempunyai bentuk dan wajah yang melebihi Dzat-Nya, mempunyai mulut,
kesenangan, gigi, sinar pada wajahnya, dua tangan, jari tangan, telapak tangan,
jari manis, jari jempol, dada, paha dua betis, dan dua kaki. Merekamengatakan;
‘kami tidak pernah mendengar penuuran bahwa Allah mempunyai kepala, mereka
berpegang pada mkan zhahir nama-nama dan sifat-Nya. Mereka member nama sifat
dengan penamaan yang dibuat-buat. Tidak ada dalil naqli maupun aqli bagi mereka
pada penamaan itu. Mereka tidak memperhatikan nash-nash yang memalingkan
pengertian lahiriah dan menuntuk kepada pengertian yang wajib bagi Allah.
Mereka tidak merasa cukup dengan mengatakan bahwa nama-nama itu adalah sifat
perbuatan, tetapi mengatakannya sifat dzat”.
Ketika menetapkan nama-nama itu
sebagai sifat, mereka berkata :’kami tidak mengartikan pengertian itu menurut
pengertian bahasa, seperti tangan berarti hikmat dan kekuasaan. Kata ‘datang’
tidak diartikan dengan kebaikan dan kasih sayang, serta kata ‘betis’ dengan
ketegasan. Bahkan, mereka mengatakan, ‘Kami tidak mengartikan semua itu dengan
pengertian lahiriah yang telah dikenal’. Pengertian yang lahir inilah yang
dikenal oleh banyak orang. Suatu kata diartikan menurut hakikatnya hanya jika
hal itu memungkinkan. Namun, jika ada indikasi kepada makna lain, maka kata itu
boleh diartika secara majazi (metaforis). Mereka keberatan terhadap tasybih dan
menolak mereka mempunyai paham tersebut. Mereka berkata “kami adalah Ahl
Al-Sunnah’. Pada hal, pembicaraan mereka jelas mengandung tasybih.
Ibnu Al-Jauzi telah mengupas panjang lebar
kepalsuan pendapat-pendapat yang mereka jadikan sandaran. Kritik keras yang
dilontarkannya di atas sesungguhnya ditujukan kepada Al-Qadhi Abu Ya’la.
Seorang faqih mazha Hanbali yang terkenal. Ia menjadi pusat sasaran kritik yang
pedas, sehinggan sebagian fuqaha mazhab Hanbali berkata “Abu Ya’la benar-benar
telah mencemari mazhab Hanbal dengan kotoran yang tidak dapat dibersihkan
dengan air laut”. Pernyataan sperti itu dikatakan oleh Ibn Al-Zaghuni dari
Mazhab Hanbali.
Demikianlah ulama Hanbali menolak
pandangan yang tersebar pada abad ke-4 dan abad ke-5 Hijrah ini. itulah
sebabnya mazhab ini menjadi tidak popular, sampai Ibnu Taimiyyah menegaskan
kembali pandangan inidengan penuh keberanian dan kekuatan. Pandangannya semakin
menyebar oleh tekanan yang senantiasa menyudutkannya.
Disini kami berpendapat bahwa klaim
yang mengatakan pandangan-pandangan itu sebagai mazhab salaf perlu ditinjau kembali. Kami telah melihat
pandangan Ibnu Al-Jauzi mengenai pendapat itu ketika tersebar pada masanya.
4. Ta’wil dan Tafwih.
Pandangan di atas, menurut Ibnu Taimiyyah, membawa
kepada kesimpulan bahwa sikap yang paling selamat adalah tafwidh (pasrah tanpa
menta’wilkan) yang diklaimnya sebagai sikap para ulama salaf yang saleh. Hanya
saja, ia menegaskan bahwa sifat-sifat tersebut tidaklah seperti sifat makhluk.
Selanjutnya ia bersikap pasrah, tidak menafsirkannya. Upaya menafsirkannya,
menurut pendapatnya, merupakan kesesatan. Ia bersandar kepada Firman Allah
“Dialah
yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara isinya ada ayat-ayat
yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an. dan yang lain adalah ayat-ayat
mutasyabihat. Adapun orang-orang di dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah
dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata ‘kami beriman
kepada ayat-ayat mutasyabihat, semunya itu dari sisi Tuhan kami’, dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Qs. Ali Imran :7)
Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa
dengan cara ini menggabungkan antara penafsiran dan sikap pasrah. Ia
menafsirkan dengan pengertian yang zhahir, mensucikan Allah dari persamaan
dengan makhluk. Yang baru dan bersikap pasra kepada-Nya mengenai bagaimana
gambaran dan sifat-Nya. Ia berpendapat bahwa sahabat juga mengerti makna
ayat-ayat mutasyabihat yang di dalamnya terdapat penyebutan sifat Allah berupa
mempunyai tangan, kaki, wajah, bersemyam, turun ke langit dunia dan lain
sebagainya. Para sahabat itu mengerti makna lahiriahnya dan tidak berusaha
untuk mencar-cari tau tentang bagaimana gambarannya dan hakikatn-Nya,
sebagamana mereka juga tidak berupaya untuk mengetahui hakikat Dzat-Nya.
Inilah yang ditegaskan Ibnu
Taimiyyah sebagai mazhab salaf. Akan tetapi, Al-Ghazali dalam hal tersebut
berbeda pendapat dengannya. Dalam kitabnya “Iljam Al-‘Awam ‘an ‘Ilm
Al-Kalam”, ia menegaskan bahwa lafadz-lafadz tentang Allah yang
dipergunakan dalam susunan kalimat Al-Qur’an dan hadits Nabi tersebut mempunyai
beberapa makna yang zhahir, yakni yang bersifat inderawi yang dapat kita lihat
– dalam hal ini jelas mustahil bagi Allah – dan mempunyai beberapa makna
metaforis yang popular di kalangan bangsa Arab tanpa melalui penta’wilan dan
interprestasi.
Berkenaan dengan dua bentuk
pengertian di atas, Al-Ghazali mengatakan, “untuk mensucikan Allah, seseorang
apabila mendengar kata “tangan”, “jari tangan” dan sabda Rasulullah SAW tentang
Allah.
“sesungguhnya
Allah membuat adonan untuk membuat Nabi Adam dengan tangan-Nya sendiri. Hati
orang mu’min berada di antara dua jari tangan Tuhan yang Maha Penyayang”.
Oleh
karena itu, kami memandang metode Al-Maturudi, Ibn Al-Jauzi dan Al-Ghazali
adalah metode yang lebih tepat. Buktinya para sahabats selalu menafsirkan
ayat-ayat tentang Allah dengan pengertian metaforis yang popular, jika mereka
kesulitan untuk mengartikannya secara hakiki.
5. Kemakhlukan Al-Qur’an
Kelompok yang menanamkan diri sebagai salaf
terllibat dalam pembicaraan mengenai hal itu, baik pada masa lampau maupun pada
masa sekarang ini. mereka menegaskan, bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah.
Allah berbicara dan menurunkan wahyu melalui Al-Qur’an Kepada Nabi-Nya yang mulia.
Qiraat Qur’an merupakan suara pembaca yang terdengar, dan qiraat semacam itu
bukan Al-Qur’an melainkan bacaannya. Al-Qur’an adalah kalam Allah sesuai firman
Allah:
“Dan
jika seseorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindugilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat aman baginya”. (Qs. At-Taubah
:6).
Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa kaum
salaf berkata, “Allah senantiasa berbicara dengan bahasa Arab bila Dia
menghendaki, sebagaimana Dia berbicara
tentang Al-Qur’an dengan bahasa Arab. Pembicaraan-Nya adalah Dia, bukan makhluk
yang terpisah dari-Nya. Nama-nama Allah yang baik dan kitab-kitab yang
diturunkan-Nya bukan makhluk, karena Allah yang mengatakanny”.
Ibnu Taimiyyah memandang tidak ada
hubungan antara Al-Qur’an sebagai firman Allah yang bukan makhluk dan ke-qadim-an Al-Qur’an. Ia
berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah dan bukan makhluk tanpa
memutuskan bahwa ia qadim. Ia berkata, “Golongan salaf secara sepakat mengatkan
bahwa firman Allah yang diturunkan itu tidak dapat diciptakan. Perkataan itu
membuat sebagian orang menduga mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah qadim.
Selanjutnya Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa Al-Qur’an bukanlah sifat kalam
yang qadim, yang berdiri pada Dzat Allah. Ia mengatakan “kalam Allah qadim
ketika Dia berbicara dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Namun, ketika dikatakan
bahwa Allah memanggil dan berbicara dengan suara, maka tidak berarti suara itu
qadim. Bila Allah tekah membicarakan Al-Qur’an, taurat dan injil, maka mereka
tidak bisa menolak bahwa Allah mengatakan huruf “ya” sebelum huruf ‘ain.
Dari pernyataan ini dapat
disimpulkan bahwa sifat kalam itu qadim, dan kalam Allah yang dipergunakan
untuk berbicara dengan makhluk-Nya seperti Al-Qur’an, taurat dan injil bukanlah
makhluk-Nya, tetapi tidak pula qadim.
6. Keesaan dalam penciptaan
Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya.
Dalam menciptakannya, Allah tidak mempunyai sekutu dan tidak ada penentang
terhadap kekuasaan-Nya. Tidak ada kehendak sang pencipta. Bahkan segala sesuatu
dan segala perbuatan berasal dari Allah dan kepada-Nya-lah makhluk kembali.
7. Keterpaksaan dan Ikhtiar
Ibnu
Taimiyyah berbeda pendapat dengan Asy’ariyyah. Ia menganggap mereka sebagai
Jabariyyah. Ia mengeritik mereka tentang pembedaan antara perbuatan dan kasab.
Mereka beranggapan bahwa perbuatan diciptakan oleh Allah dan kasab adalah milik
hamba.
Ibnu
Taimiyyah menegaskan bahwa mazhab salaf ialah mengimani qadar yang baik maupun yang buruk, kekusaan Allah dan
kehendak-Nya yang bersifat mutlak. Allah menciptakan hamba dan segenap potensi
yamg dimilikinya, sedangkan hamba melakukan apa saja yang dikehendakinya dengan
kekuasaan dan kehendak-Nya. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyyah berkata :”
seyogyanya diketahui bahwa menurut
mazhab salaf, Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu; Allah menciptakan
hamba sebagai makhluk berkeluh resah dan kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia amat kikir.
Ibnu Taimiyyah mengakui bahwa Allah
mempunyai kekuasaan yang mutlak dan hamba mempunyai daya serta merasakan efek
kekuasaan Allah itu. Dengan demikian Ibnu taimiyyah mengakui tiga hal, yaitu:
1. Allah
adalah pencipta segala sesuatu.
2. Hamba
adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya serta mempunyai kemauan da kehendak
yang sempurna yang membuatnya bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
3. Allah
memudahkan, meridhoi dan menyukai perbuatan bauk, serta mempersulit perbuatan
buruk dan tidak menyukainya.
Masalah yang muncul
ialah bagaiman Ibnu Taimiyyah mengkompromikan antara beberapa kenyataan yang
saling bertentangan ini? bagaimana a mengkompromikan antara keadlian Allah SWT.
Dalam menyiksa orang yang berbuat jahat dan memberikan pahala kepada orang yang
berbuat kebaikan, sedangkan semua ini merupakan milik Allah.
Jawabnya, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa perbuatan hamba
dihubungkan kepada hamba itu sendiri karena ia memliki potensi, dan dihubungkan
kepada Allahd engan anggapan bahwa Allah menciptakan potensi itu.
Perbuatan hamba disandarkan kepada Allah dilihat dari segi
Allah adalah pencipta sebab perbuatan itu, yaitu kemmapuan hamba yang ada pada
dirinya. Dengan pendapat ini, Ibnu Taimiyyah memiliki pesamaan pandangan yang
cukup besar dengan Mu’tazilah. Lebih
dekat kepada kebenaran daripada Asy’ariyyah. Hanya saja, ia berbeda pendapat
dengan Mu’tazilah dalam dua hal, yaitu:
1. Mengenai
tidak adanya keterkaitan antara perintah dan kehendak.
2. Ibnu
Taimiyyah membedakan antara ridho, suka dan kehendak.
Kami memandang Mazhab
Ibnu Taimiyyah dalam hal itu merupakan jalan tengah antar Mu’tazilah dan
Asy’ariyyah.
8. Sebab Perbuatan Allah.
Berkaitan
dengan masalah ini, ulama mengemukakan masalah sebab bagi perbuatan-perbuatan
Allah. Apakah Allah melakukan perbuatan-Nya dan emnciptakan apa yang
diciptakan-Nya tanpa ada sebab yang mendorong-Nya? Dalam hal ini ada beberapa
pendapat:
1. Pendapat
Asy’ariyyah yang mengatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu bukan karena
suatu alasan tertentu.
2. Pendapat
yang menagtakan bahwa Allah menciptakan makhluk, memerintahkan berbagai
perintah dan melarang berbagai larangan disebabkan suatu hikmah yang terpuji.
Ini adalah pendapat Maturidiyyah.
3. Pendapat
Mu’tazlah yang berpandangan bahwa Allah tida melakukan tindakan, perintah, dan
larangan kecuali yang baik.
Ibnu Taimiyyah menolak
pandangan ini. ia mengatakan bahwa pendapat salaf jelas-jelas berlainan dengan
pendapat ini. berkenaan dengan kelompok yang memegang pendapat ketiga ini, ia
mengakatakn “mereka menganalogikan perbuatan Tuhan dengan sesuatu yang baik dan
yang buruk dari hamba. Mereka mengharamkan bagi Allah apa yang mereka haramkan
bagi hamba. Mereka menanamkannya sebagai keadilan dan kebijaksanaan, padahal
akal mereka tidak sanggup menjangkau pengetahuan tentang hikanh-Nya. Mereka tidak
menetapkan kehendak dan kekuasaan yang mutlak bagi Allah. Mereka tidak
menetapkan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Mereka tidak mengatakan
bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah terjadi, sedang apa yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.”
9. Keesaan dalam Ibadah
Wahdaniyyah dalam
ibadah berarti seorang hamba tidak mengarahkan ibadahnya kepada selain Allah.
Wahdaniyyah tersebut menuntut dua hal, yaitu :
1. Seseorang
tidak menyembah sselain Allah dan tidak mengakui ketuhanan selain Allah. Siapapun
yang menyekutukan seseorang atau sesuatu bersama Allah maka ia telah musyrik.
2. Kita
menyembah Allah berdasarkan apa yang telah disyari’atkannya melalui para
Rasulnya. Kita tidak mnyembah Allah kecuali dengan ibadah yang wajib, yang
sunnah, atau sesuatu yang mubah serta dimasudkan untuk ketaatan dan kesyukuran
kepada Allah.
Ibnu Taimiyyah yang
dikenal sebagai pemegang panji madzhab ulama salaf mendasarkan hal ini pada 3
hal :
a. Larangan
mendekatkan diri kepada Allah melalui orang orang yang saleh dan para wali
b. Larangan
meminta pertolongan dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ( tawasul) orang orang yang telah meninggal dunia dan lainnya.
c. Larangan
berziarah ke makam orang orang saleh dan para nabi untuk minta berkah dan
mengkultuskannya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
Dr. Muhammad Abu Zahrah. 2011. Aliran politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Tangerang
: Gaya Media Pratama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar