Jumat, 25 September 2015

Mama, Jangan Paksa Aku Menikah


Putih mulus, cantik, tegas, berhijab, soleha dan pintar  memasak. Itulah gelar yang istimewa yang dimiliki oleh seorang wanita di sebuah desa Somba Palioi kabupate Bulukumba Sulawesi Selatan. Wanita yang merupakan anak ke tiga dari pasangan suami istri H. Sulle dan Sabo. Wanita itu lahir di sebuah Desa yang sangat terpencil. Rumah panggung sebagai rumah adat di desa itu yang setiap malam hanya disinari denga cahaya lampu pelita. Yang terbuat dari kaleng susu bendera yang terisi dengan minyak tanah. Itulah desa Somba Palioi tempat wanita itu di lahirkan. Ia lahir pada tanggal  7 desember  1988. Sebuah tahun yang saat itu masih sangat asing mendengar barang-barang elektronik. Mulai dari handphone, laptop dan lain sebagainya. Wanita itu diberi nama “Nurmi”. Sebuah nama yang sangat istmewa oleh Ayah untuknya. Apa ya artinya Nurmi?. Entahlah, Ayahnya sendiri tidak tahu apa artinya Nurmi. Bisa dimaklumi seorang Ayah yang memberi nama kepada anak-anaknya tapi artinya tidak ia ketahui. Ayah Nurmi tidak pernah berpendidikan sama sekali. Jadi, mungkin bisa dimaklumi kalau nama saja terasa sulit untuk memberi nama terbaik untuk anak-anaknya. Apalagi Nurmi, seorang wanita yang banyak diperebutkan oleh para remaja ganteng di Desanya.
Masa kecil Nurmi, Ia jalani dengan penuh kebahagiaan bersama keluarganya. Mulai dari Ayah, Bunda, dan kakak-kakaknya. Meskipun Nurmi  berasal dari keluarga  yang sangat sederhana, Ia tetap mencitai Ayah dan Bundanya yang telah merawatnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang yang tiada taranya. Nurmi tidak memandang dari segi kekayaan orang tuanya tapi Nurmi memandang orang tuanya dari segi kasih sayang dan cinta yang sangat mendalam untuknya. Detik demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun. Nurmi memasuki usia 5 tahun. Biasanya, diusia 5 tahun, anak-anak yang menginjak umur itu, mereka menempuh pendidikan taman kanak-kanak (TK) atau pendidikan anak usia dini (PAUD). Tapi itu tiak terjadi dalam kehidupan Nurmi diumur itu. Diumur 5 tahun, Nurmi tidak mengenyam pendidikan TK maupun PAUD. Dikarenakan  pada zaman itu tidak ada sekolah  TK atau PAUD di Desanya. Sehingga pada umur itu, Nurmi membantu Bunda tercinta. Salah satunya adalah menjaga adiknya yaitu Ariel. Kadang juga Nurmi membantu Bundanya memanen singkong di kebun. Setiap hari Ibunya berangkat pagi dan pulang sore. Pekerjaannya adalah memanen singkong yang kemudian Ia jual dan diolah menjadi kapur. Kapur  fungsinya adalah sebagai alat tulis di sekolah yang ada di Desa Somba Palioi. Zaman itu, guru-guru di sekolah hanya menggunakan kapur sebagai alat tulis di papan tulis. Karena belum dikenal yang namanya spidol seperti saat ini. Pada saat Nurmi berusia 6 tahun, barulah ia menginjakkan kakinya di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Desanya. Nurmi tidak ingin nasibnya  sama seperti kakak tertuanya (Colleng) yang hanya berpendidikan sampai kelas 5 SD. Nurmi ingin melanjutkan pendidikannya sampai di bangku kuliah. Ia ingin merubah dari kesederhanaan orang tuanya dengan ilmu yang ia peroleh. Di SD itulah Nurmi mulai belajar dengan penuh semangat. Mulai mengenal huruh A sampai Z. Dan berhitung 1 sampai 10. SD itu 90% siswa dan siswinya adalah pelajar yang nakal dan sering mencela anak-anak yang miskin. Nurmi adalah salah satu siswi SD yang sering dihina dan dicela oleh teman-temannya dan kakak-kakak kelas di sekolah karena kesederhanaannya.  Hampir setiap hari Nurmi menangis karena tidak kuat untuk menahan sakit hati karena ledekan dan ejekan dari teman-temannya. Tapi ia tidak pernah mengadu kepada orang tuanya. Setiap Nurmi pulang sekolah, ia selalu terlihat bahagia dan tersenyum manis dihadapan Ayah dan Bundanya.  Nurmi yakin bahwa ia bisa melewati semua ini tanpa harus mengadu kepada orang tuanya. Nurmi memang hanya seorang perempuan, tetapi Nurmi selalu teguh dengan pendiriannya. Untuk  tetap bersekolah dan menghadapi segala rintangan. Nurmi tidak ingin menjadi anak perempuan manja seperti teman-temannya yang lain. Karena ia menyadari bahwa ketika ia manja akan menambah beban kepada Ayah dan Bundanya. Nurmi juga sangat jarang membawa uang jajan ke sekolah. Karena Ayahnya hanyalah seorang petani singkong begitu pun dengan Bundanya. Sehingga ia  hanya membawa buah jambu air ke sekolah untuk mengisi  perutnya ketika sedang kelaparan. Sepulang sekolah, ia tetap membantu Bundanya bekerja memanen singkong dan menjaga adik kecilnya serta memasak. Nurmi  ingin sekali ketika dewasa nanti menjadi istri yang bisa memasak untuk suami dan anak-anaknya. Lelah dan letih. Itulah  yang sering dirasakan oleh Nurmi disetiap saat.
Seiring dengan waktu yang terus berputar dan mengitari hidup Nurmi. Nurmi duduk di bangku  kelas 5 SD Pada umur 10 tahun. Diumur 10 tahun, selain belajar di sekolah ia juga belajar membaca Al-Qur’an. Ia belajar bersama  teman-teman sebayanya setiap siang dan sore. Nurmi belajar mengaji dengan seorang guru yang bernama Puang Sia. Puang adalah gelar nama di desanya sebagai orang yang terhormat sehingga dipanggil Puang. Jadi, setipa Nurmi memanggil gurunya ia tidak memanggilnya dengan sebutan ibu Guru tapi Puang Sia. Puang Sia adalah seorang wanita yang belum bersuami. Tapi umurnya memasuki 28 tahun. Puang Sia berasal dari Desa Borong Rappoa kabupaten Bulukumba berjarak jauh dari Desa Nurmi. Di Desa Puang Sia sendiri, ia tidak punya pekerjaan apa pun alias menganggur dan tidak punya pacar yang bisa menemani dan menghiburnya ketika ia sendiri dan galau. Puang Sia punya bakat tilawah Al-Qur’an. Dan Puang Sia ingin mengamalkan ilmu dan bakatnya itu di Desa Nurmi. Puang Sia membangun Rumah panggung sendiri  yang disekitarnya berdiri kokoh pohon cengkeh, cokelat, mangga dan lainnya. Rumah puang Sia berjarak 500 meter dari jalan raya Desa Somba Palioi. Puang Sia tidak mempunyai siapa-siapa di Desa itu, ia hanya mempunyai murid-murid yang senang membantunya mengangkut air dari sumur ke rumahnya yang berjarak 1 kilo meter dari rumah panggug Puang Sia. Murid yang paling Puang Sia senangi adalah Nurmi. Alasan Puang Sia senang kepada Nurmi adalah karena Nurmi terkenal di kampungnya sebagai wanita  yang  rajin, cantik dan pintar pula memasak. Tiga hal itulah yang membuat Puang Sia senag kepada Nurmi. Semenjak Nurmi menjadi murid kesayangan Puang Sia, Nurmi jarang sekali tidur di rumahnya sendiri. Nurmi lebih memilih tidur di rumah Puang Sia. Setiap malam Nurmi diajarkan oleh Puang Sia membaca Al-Qur’an. Dan Nurmi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar. Hanya dalam waktu 2 bulan Nurmi sudah mahir membaca Al-Qur’an. Di Desa Nurmi, sangat jarang dan bahkan tidak ada anak yang seumurannya bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar seperti Nurmi. Karena kelancaran Nurmi membaca Al-Qur’an, Puang Sia pun berusaha keras untuk mengajari Nurmi membaca Al-Qur’an nada yang tinggi yang biasa  disebut “Mujawwaz”. Secara  bertahap, Nurmi belajar mujawwaz dengan Puang Sia.  Dan ternyata, Nurmi mempunyai suara yang sangat merdu dan mengalahkan suara Puang Sia. Puang Sia merasa kaget saat mendengar suara Nurmi yang merdu. Burung seakan berkicau riang mendengar suara Nurmi yang merdu dalam membaca Al-Qur’an. Dengan waktu  yang  singkat, orang-orang di Desa mulai mengetahui tentang Nurmi yang mempunyai suara yang merdu dalam membaca Al-Qur’an. Seorang gadis kecil yang berusia 10 tahun bisa membawa nama baiknya di kampung begitu pun dengan nama baik orang Tuanya. Bulan Ramadhan pun tiba. Nurmi diberi kepercayaan oleh masyarakat  di Desanya untuk membaca Al-Qur’an di masjid Syuhada setelah melaksanakan shalat isya sambil menunggu shalat tarawih. Dengan senang hati, Nurmi melaksanakannnya dengan penuh kebanggaan dalam hatinya. Saat pertama kali ia tampil, hampir seluruh jama’ah shalat tarawih di  masjid itu merasa tenang yang
tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Bahkan para ibu-ibu mengeluarkan butiran-butiran  air mata. Merasa bahagia karena ada anak kecil yang bisa membaca Al-Qur’an secara Mujawwaz. Bunda Nurmi pun merasa sangat bangga  dan sempat menjatuhkan butiran-butiran air mata bahagia. Dan Puang Sia sebagai Guru mengaji Nurmi juga merasa bangga karena ia telah berhasil membimbing muridnya membaca Al-Qur’an dengan baik.
Bukan hanya jama’ah shalat tarawih saja yang merasa kagum dengan Nurmi, anak-anak muda pun terhenti melakukan kegiatan mereka addomeng (bahasa konjo) di sebuah  pos yang ada di Desa tersebut. Sesekali mereka bertanya-tanya kepada teman mereka sendiri di pos itu dengan bahasa ciri khas mereka di Desa. “siapa mo suara itu dende bagus sekali payya”. Kata Hamzah salah satu remaja di desa tersebut. Dengan rasa kebingungan Mora’ pun berkata “tidak tauka juga bela, siapa itu di”. Mereka penasaran entah suara siapakah yang sangat merdu  itu. Akhirnya mereka mengetahui bahwa yang bersuara merdu itu adalah Nurmi. Seorang gadis kecil yang selama  ini mereka kenal seorang gadis yang rajin dan cantik pula. Dalam hati Hamzah mulai ada rasa yang aneh. Entah apa, dia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. Tidak mungkin ia suka dengan gadis itu yang masih berumuran 10 tahun tapi perilakunya bukan lagi anak-anak. Malah Nurmi dengan umur 10 tahun sudah mulai berpikir dewasa karena keinginannya yang sejak kecil ingin menjadi wanita terbaik suatu saat nanti. Hamzah mulai terpanah dengan anak panah cinta yang kian membara. Ia bingung bagaimana caranya ia bisa mengungkapkan rasa sukanya kepada Nurmi. Dengan rasa yang kian mendesah dalam lubuk hati Hamzah. Ia berani mengirimkan surat kepada Nurmi. Zaman itu memang belum ada HP yang canggih seperti sekarang sehingga bagi orang yang ingin mengungkapkan rasa cinta dan rasa suka kepada seseorang, mereka mengungkapkan melalui dengan surat yang biasa disebut “surat cinta”. Nurmi kebingungan  tiba-tiba ada surat dari Hamzah. Pada hal selama ini ia tidak kenal dekat dengan Hamzah. Dengan perlahan Nurmi mulai membuka isi surat itu. Ternyata isi surat itu adalah ungkapan rasa suka dan jatuh cinta Hamzah kepada Nurmi. Nurmi terdiam membisu setelah membaca surat itu. Ia takut ketika hal ini diketahui oleh orang tuanya. Karena kebiasaan di kampungnya, sering ada yang terjadi seperti dengannya dinikah paksa oleh orang tuanya dan Nurmi tidak ingin jika hal ini harus terjadi dalam hidupnya. Ia mulai menyusun kata  yang bijak dan sopan untuk membalas surat  Hamzah yang isinya bahwa Nurmi tidak bisa menerima cinta Hamzah. Dikarenakan usianya yang masih sangat muda. Hamzah seakan dirinya telah ditaburi oleh bintang-bintang cinta yang jatuh dari langit saat ia menerima surat balasan dari Nurmi. Hamzah mengira bahwa Nurmi pasti menerima cintanya. Akan tetapi, ketika Hamzah membuka isi surat itu ia merasa  jantungnya telah tergunting oleh cinta yang tidak terbalas saat membaca isi surat yang bertuliskan “maaf, saya tidak bisa menerima ini”. Namun, Hamzah tidak menyerah. Ia tetap memupuk cinta dalam hatinya dan menunggu sampai Nurmi siap menerima Cintanya. Nurmi berusaha melupakan kejadian yang ia anggap aneh yang telah terjadi padanya. Nurmi tetap fokus dalam mengasa bakatnya mujawwaz Al-Qur’an. Sehingga setiap Nurmi silaturahmi ke rumah tetangganya, ia selalu dipuji-puji karena suara dan kemahiraannya dalam membaca Al-Qur’an.
Diusia 12 tahun, Nurmi duduk di bangku kelas 6 SD. Bakatnya pun bertambah selain membaca Al-Qur’an. Nurmi ditawari oleh gurunya di sekolah yang biasa dipanggil Ibu Rahmah. Untuk mengikuti lomba Qasidah di Desa Borong Rappoa dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI. Dengan senang hati, Nurmi menerima tawaran itu dan diberi amanah sebagai vokalis dalam perlombaan Qasidah. Setiap hari Nurmi berlatih bersama temaan-temannya di kelas ketika jam istirahat. Ketika H-7 lomba akan dilaksanakan, Ibu Rahmah mengumumkan persiapan dan perlengkapan apa saja yang harus dipenuhi. Nurmi dan teman-temannya mendengar penjelasan Ibu Rahmah dengan seksama. Namun, ditengah-tengah penjelasa Ibu Rahmah, Nurmi mengangkat tangan dan protes. Bahwa ia tidak bisa mengikuti lomba jika harus membayar seragam sebesar Rp. 50.000. Nurmi tidak tahu harus bagaimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Sedangkan orang tuanya uang sebanyak itu merasa berat untuk mereka dapatkan. Alasan kedua Nurmi tidak mau mengikuti lomba adalah ia tidak ingin jika harus di make up. Maklum ia anak kampung yang mukanya tidak pernah tersentuh oleh tebalan bedak. Tapi, Ibu Rahmah tetap memaksa Nurmi untuk tetap ikut dalam perlombaan ini karena suaranya yang merdu.Tapi, Nurmi tetap tidak ingin mengikuti lomba Qasidah itu. Akhirnya Ibu Rahmah pun mengalah dan menerima keputusan Nurmi. Dan Nurmi digantikan oleh teman sekelasnya yang suaranya tidak kalah merdu dengan suara Nurmi. Ia biasa dipanggil Risna oleh Nurmi. Risna adalah anak yang manis, cantik dan baik pula. Nurmi merasa senang karena ada yang bisa menggantikannya. Dan pada hari H lomba Qasidah, teman-teman Nurmi gagal meraih juara. Tapi mereka tetap semangat untuk mengikuti latihan Qasidah di sekolah.
Sebagai siswa kelas 6 SD, Nurmi mulai membuat plan bagaiman ia ke depannya setelah Lulus SD. Ia ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi nanti agar nasibnya bisa lebih baik. Dan hal yang  jelek tidak terjadi padanya yaitu nikah paksa.  Nurmi menyusun plannya dengan cermat. Dan salah satu plan yang ia tulis adalah ia ingin sekolah di Madrasah Tsanawiyah(MTs). Tiba-tiba kakak kelasnya yang sekolah di MTs YPP Bulukumba menghampiri Nurmi. Wanita itu ingin melihat apa sebenarnya yang ditulis oleh Nurmi. “Nurmi, apa itu nu tulis?”. Tanya wanita itu kepada Nurmi dengan bahasa indonesia campur konjo. “anu he, bikinka plan bela. Karena mauka lanjut sekolah di MTs”. Jawab Nurmi. “bolehji ku pinjam kah?”. Lanjut wanita itu. “ia bolehji”. Kata Nurmi. Setelah wanita itu membaca plan Nurmi, ia menawari agar Nurmi ikut saja dengannya sekolah di MTs YPP. Kebetulan wanita itu juga nasibnya hampir sama dengan Nurmi. Ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Rumahnya adalah rumah panggung kecil yang atapnya terbuat dari daun Rumbia. Dengan senang hati, Nurmi menerima tawaran wanita itu untuk ikut sekolah di MTs YPP di Kota Bulukumba. Wanita itu menjelaskan kepada Nurmi mulai dari tempat tinggalnya dan sekolahnya. Nurmi merasa senang karena ketika sekolah nanti ia akan tinggal di panti asuhan dan bebas biaya dari orang tuanya. Ia bahagia akan sekolah di kota dan akan meninggalkan desanya. Saat malam tiba, keluarga Nurmi berkumpul di ruang tamu yang diterangi dengan cahaya lampu pelita. Nurmi pun mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah di MTs YPP Kota Bulukumba dan akan tinggal di Panti Asuhan. Ayah dan Bunda Nurmi tidak berpikir panjang lagi. Mereka yakin Nurmi pasti bisa menjaga diri karena ia akan tinggal di panti asuhan. Nurmi pun langsung bergegas ke kamarnya dengan penuh rasa  gembira. Ia mulai merapihkan pakain-pakaiannya untuk ia bawa.
Hari keberangkatan ke Panti Asuhan pun tiba. Bunda Nurmi hanya  mebekali dengan uang Rp.15.000. Nurmi sangat bangga bisa memegang uang sebanyak itu. Selama ini ia jarang uang sebesar itu ada di tangannya. Biasanya hanya uang Rp.500 dan  Rp.1.000 yang ia pegang. Itu pun hanya seminggu sekali. Dengan uang Rp.15.000, Nurmi  bisa menghemat uang itu. Ia akan menggunakan uang itu jika memang ada keperluan yang sangat penting. Nurmi berangkat ke panti asuhan tanpa diantar oleh kedua orang tuanya. Ia hanya bersama dengan kakak kelasnya  yang juga tinggal di panti asuhan. Nurmi berangkat dengan angkot milik Karaeng Umar. Angkot itu adalah satu-satunya angkot yang ada di Desa Nurmi. Jadi, ketika ada orang yang ingin ke bulukumba, mereka harus sudah siap dari jam 06.30 pagi. Karena, jika meraka ketinggalan angkot, wassalam mereka akan gagal ke kota Bulukumba. Setelah Nurmi tiba di panti asuhan, Nurmi disambut oleh para anak-anak panti yang lebih duluan dari Nurmi. Ada yang masih berumur 3 tahun dan bahkan ada yang sudah duduk di kelas 3 SMA. Semuanya menyambut kedatangan Nurmi. Nurmi menganggap mereka adalah keluarga ke dua bagi Nurmi yang akan tinggal bersamanya sampai waktu yang tidak ia ketahui. Nurmi sangat pintar bergaul di lingkungan barunya. Sehingga dalam kurung waktu 2 minggu, Nurmi sudah dikenal oleh seluruh pembina panti asuhan. Selain itu, ia juga mendapat teman baik yang selalu hadir didekatnya dalam keadaan susah maupun senang. Mereka adalah Linda, Aspiani, Minarti dan Juarni. Juarni adalah kakak kelas Nurmi yang sangat menyayanginya. Sedangkan Linda, Aspiani dan Minarti adalah teman sekelas Nurmi di MTs YPP Bulukumba. Setiap hari mereka berangkat ke sekolah bareng dengan jalan kaki yang berjarak 1,5  kilo meter dari Panti Asuhan. Namun, Nurmi dan teman-temannya tidak merasa lelah berjalan kaki dan panas-panasan dibawa terik sinar matahari. Karena selama di perjalanan, Nurmi dan teman-temannya bercanda tawa agar tidak merasakan lelah dan capek. MTs YPP Bulukumba adalah sebuah sekolah yang tidak jauh berbeda dengan sekolah SD Nurmi.
Hampir setiap hari Nurmi diledek oleh anak-anak kota yang sekolah di MTs YPP. Mereka meledek Nurmi karena Nurmi adalah anak kampung yang sekolah di Kota. Namun, Nurmi tetap menerima ledekan itu dengan lapang dada. Meski dalam hatinya telah marah besar dan ingin menerkam orang-orang yang meledeknya. Tapi, beberapa hari kemudian, ledekan itu masih saja hadir dalam kehidupan Nurmi di MTs YPP. Dengan rasa emosi  yang selama  ini Nurmi simpan dalam hatinya. Ia mengeluarkan emosi itu dan melawan anak-anak yang telah meledeknya. Wajahnya merah seperti orang yang kepedasan makan sambel, matanya melotot dan kekuatan fisiknya ia keluarkan. Anak-anak yang telah meledeknya lari karena merasa takut dengan tingkah Nurmi yang menyeramkan seperti harimau. Suatu hari, kakak kelas Nurmi meledek Nurmi. “haha... dasar anak kampung masuk kota” ledek kakak kelas Nurmi. Nurmi merasa sakit marah saat itu karena masih ada saja orang yang berani meledeknya. Hatinya seakan tercincang-cincang oleh kata-kata itu. Dengan wajah yang terlihat merah, Nurmi pun membalas dengan kata-kata dalam bahasa kampungnya “kenapaikah, susahko. Mau-mauku ituah, bukan tonji urusannu ngase, bapakku memang petani tapi bisa tonja makan, dari pada kau ngase bapaknu tukang becak hahaha...”. begitulah balasan kata-kata Nurmi terhadap kakak-kakak kelasnya. Sepulang sekolah, kakak kelas Nurmi menunggu di pinggir jalan. Mereka berniat untuk mencelakakan Nurmi dan teman-temannya. Dari jauh Nurmi terlihat berjalan kaki dengan teman-temannya untuk pulang ke Panti Asuhan. “wooiii... anak kampung, hahaha.. jalan kaki”. Teriak kakak kelas Nurmi yang telah lama menunggunya di jalan. Nurmi mendengar jelas teriakan itu. Dengan rasa berani, ia mendekati kakak kelasnya di jalan. “apa nu bilang, anak kampung”. Saat itu Nurmi tidak membalasnya dengan kata-kata lagi. Tapi ia membalasnya dengan tendangan kaki gaya harimau membuka jalan. Tapi sayang seribu sayang, tendangannya gagal mengenai perut kakak kelasnya itu dikarenakan sepatunya terlempar jauh dan jatuh di tempat duduk becak. “hati-hati maki andi kalau marahki, alele...”. Kata tukang becak itu. Kakak kelas Nurmi tidak berani menertawakannya karena meraka merasa takut dengan tendangan Nurmi harimau membuka jalan. Mereka pergi dengan wajah ketakutan. Nurmi pun sangat malu kepada tukang becak dan orang-orang disekitanya. Setelah kejadian itu, tidak ada seorang pun yang berani meledek Nurmi lagi di sekolahnya.
Di panti asuhan, Nurmi termasuk anak asuh tauladan dan disayang oleh Pak Baba’. Pak Baba’ adalah salah satu pembina di panti asuhan. Hampir disetiap waktu kosong, Nurmi dipanggil oleh Pak Baba’ ke ruangannya untuk berbagi cerita. Kadang Nurmi diminta oleh Pak Baba’ untuk menceritakan keadaan keluarganya. Denga senang hati, Nurmi menjelaskannya dengan pelan-pelan dan kata-kata yang tersusun rapih.
Tiga tahun lamanya Nurmi tinggal di Panti Asuhan dan bersekolah di MTs YPP Bulukumba. Sangat banyak pengalaman terindah yang telah ia dapatkan. Mulai dari kedisplinan waktu sampai prestasi ia raih selama di panti asuhan. Diantaranya adalah juara 2 dalam perlombaan Qasidah tingkat Kota Bulukumba. Dan juga ia selalu masuk dalam 3 besar disetiap ujian semester usai. Hal itulah yang membuat Nurmi menjadi anak asuh tauladan dan disayang oleh Pak Baba’. Diujung tahun selama di panti asuhan alias tahun ke tiga, Nurmi mulai menyusun kembali plannya setelah ia lulus MTs. Dimana ia harus melanjutkan SMA dan harus tinggal dimana? Itulah yang ia masukkan dalam plannya. Salah satu plan yang ia tulis adalah Nurmi ingin lanjut sekolah tingkat SMA disebuah pesantren untuk memperdalam ilmu agama dan ingin menjadi wanita yang soleha. Kebetulan adiknya (Ariel) sekolah di sebuah pesantren Al-Murahamah Banyorang di kabupaten Bantaeng sulawesi selatan. Saai itu Ariel duduk di bangku kelas 2 MTs. Nurmi berniat untuk melanjutkan SMA Di pesantren agar tinggal bersama adiknya. Ia memperbaiki niatnya lagi dan menyusun kata terbaik untuk ia sampaikan kepada Pak Baba’. Nurmi yakin dan sudah tahu betul Pak Baba’ pasti tidak mengizinkannya untuk pindah sekolah dan keluar dari panti asuhan. Dengan jantung yang deg-degan, Nurmi menuju ruang Pak Baba’ untuk menyampaikan niatnya pindah sekolah dan keluar dari Panti Asuhan. “tok..tok.. Assalamu ‘Alaikum”. Salam Nurmi ketika dipintu ruang Pak Baba’. “wa’alaikum salam, silahkan masuk”. Kata pak Baba’. Nurmi masuk ke ruang Pak Baba’  dengan wajah yang terlihat aneh dan berbeda dari biasanya. “eh.. Nurmi, Silahkan duduk nak”. Pak Baba’ menyilahkan Nurmi untuk duduk di kursi dekat meja kerjanya. Nurmi langsung duduk di kursi itu dengan wajah murung tanpa terlihat senyum manisnya seperti biasanya di depan Pak Baba’. “kenapako Nurmi, ada masalah?”. Tanya Pak Baba’ kepada Nurmi. Nurmi terdiam sejenak mencoba untuk memperbaiki perasannya dan menyusun kata-katanya kembali yang buyar karena rasa keraguan yang terjadi padanya. “anu pak, mauka pindah sekolah dan mau juga ka keluar di panti ini”. Kata Nurmi kepada Pak Babab’. “apa Nurmi, mauko keluar dari sini?, kenapaikah ada masalahmu?”. Tanya  pak Baba’ kepada Nurmi. “Tidakji pak, tidak adaji apa-apa, maukuji keluar karena mauka sekolah di pesantren”. Lanjut Nurmi. Pak Baba’ terdiam membisu tanpa kata yang bisa ia ucapkan dari kedua bibirnya ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak mungkin memaksa Nurmi untuk tetap tinggal di Panti Asuhan sampai selesai SMA. Demi kebaikan Nurmi dan untuk masa depannya. Dengan berat hati, Pak Baba’ menyetujui keinginan Nurmi. Air mata pak Baba’ terlihat jatuh ke telapak tangannya karena akan kehilangan anak asuh kesayangannya yang selama ini menemaninya berbagi cerita di ruangannya. Nurmi pun terdiam entah bagaimana caranya agar Pak Baba’ tidak menangis atas kepergiannya dari Panti Asuhan. Berat rasanya bagi Pak Baba’ untuk melepas Nurmi sebagai anak asuh kesayangannya. Tapi apa boleh buat, semua ini demi masa deapan Nurmi sendiri.  Dengan berat hati pak Baba’ menanggapi lagi “baiklah nak, bapak setuju dengan keputusan kamu, keputusanmu sangat baik sekali, jarang sekali bapak dan bahkan tidak pernah menemukan anak sepertimu yang mau melanjutkan sekolahnya di pesantren”. Kata Pak Baba’. Nurmi meraih tangan Pak Baba’ untuk menyalaminya dan bergegas pergi dari hadapan Pak Baba’. Nurmi pun menuju kamarnya dan langsung membuka pintu kamarnya. Kebetulan teman-temannya Linda, Sumarti, Aspiani dan Juarni sedang berkumpul di kamar Nurmi sambil berbagi cerita. Dengan langkah perlahan, Nurmi masuk ke kamarnya sambil mengusap air mata yang masih kelihatan basa dipipinya. “Nurmi, kamu kenapa? Kok nangis”. Tanya  Juarni kepada Nurmi. “tidak kok, saya ngga apa-apa”. Jawab Nurmi. Teman-teman Nurmi yang lain terlihat cemas apa sebenarnya yang terjadi pada Nurmi, baru kali ini mereka melihat Nurmi meneteskan air mata pada hal selama ini Nurmi selalu terlihat ceria dan tertawa bahagia bersama teman-temannya di panti maupun di sekolah. “teman-teman, saya ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian”. Kata Nurmi terhadap teman-temannya. “apa Nurmi, ada apa?”. Tanya salah satu teman Nurmi di ruangan kamar kecil itu. Dengan berat hati Nurmi menyampaikan kepada teman-temannya dengan kata yang terputus-putus “a..ak..aku ma,,mau pindah sekolah dan ma...u keluar dari panti Asuhan ini”. “apa??.. mau  pindah sekolah dan keluar dari panti asuhan??”. Serentak teman-teman Nurmi mengeluarkan kata-kata itu dari mulut mereka. Mereka kaget dengan niat Nurmi yang ingin meninggalkan mereka di panti asuhan. “iya teman-teman saya akan melanjutkan sekolah di MA Al-Murahamah Banyorang”. Lanjut Nurmi. Seketika itu teman-teman Nurmi memeluknya dengan kesedihan yang sangat mendalam dan disertai dengan tangisan. Berat sekali bagi Nurmi untuk meninggalkan teman-temannya di panti asuhan yang selama 3 tahun menemaninya tertawa gembira dan selalu hadir disetiap ada masalah yang menimpah Nurmi. Juarni yang tadinya mampu mengeluarkan kata dan tertawa dengan suara yang keras, kini hanya bisa menangis bersedu-sedu dan tak mampu lagi mengeluarkan kata terindah untuk Nurmi yang akan pergi meninggalkannya. Mulutnya terkunci, air matanya mengalir deras dipipinya dan menari-nari di atas kerudungnya. Juarni  pun merasa berat bagai punggungnya terdapat satu ton batu karang yang ia angkut. Kebersamaan selama 3 tahun lamanya semunya akan tinggal menjadi kenangan terindah dalam hidup Juarni. Tapi Juarni yakin hanya fisik yang akan memisahkan mereka. Canda tawa dan kegembiraan akan selalu hadir disetiap sudut kamar Juarni yang akan membuatnya tersenyum kembali meskipun semuanya tidak seindah yang dulu.
Tibalah hari dimana Nurmi harus pergi meninggalkan teman-temannya dan panti asuhan tercinta. Nurmi membereskan seluruh barang-barangnya. Pakainnya ia masukkan ke dalam tas dan buku-bukunya ia masukkan ke dalam kardus sebagai oleh-oleh buat adik kesayangannya yang masih duduk di bangku SD. Saat Nurmi keluar dari kamar mengangkat barang-barang dan dibantu oleh Juarni, Pak Baba’ datang menghampirinya dan berpesan agar Nurmi nantinya menjadi seorang murid yang berprestasi dan bahkan menjadi wanita soleha buat suaminya nanti. Setelah mendengar pesan Pak Baba’, Nurmi berjanji akan memenuhi semua pesan Pak Baba’ pembina yang sangat menyayanginya. Nurmi pun pamit kepada Pak Baba’ dan teman-temannya yang telah lama menunggu Nurmi di depan pintu gerbang panti asuhan. Air mata kesedihan masih saja hadir menambah kesedihan atas kepergian Nurmi pada hari itu. Masih terasa berat buat Nurmi untuk mengangkat kakinya pergi meninggalkan teman-teman tercinta dan panti asuhan. Tapi Nurmi yakin dengan niat dan keinginannya, Nurmi akan menemukan lagi teman-teman yang bisa menyayanginya meski rasa kasih sayang itu tidak sama seperti ia dapatkan selama di panti asuhan. Angkot berwarna hitam dari terminal pasar sentral Bulukumba datang seakan menjemput Nurmi. Nurmi pun naik ke angkot hitam itu dengan air mata yang masih basa dipipinya. Disertai dengan kesedihan yang sangat mendalam yang tak mampu ia kuburkan ke dalam tanah. Semakin lama semakin terlihat jauh panti asuhan  dari pandangan Nurmi, dan terlihat hanyalah lambain tangan teman-temannya atas kepergian Nurmi. Nurmi berusaha menenangkan perasaannya dan menghapus kesedihannya di atas angkot hitam itu. Tapi ia tak kuasa untuk melakukannya.
Dua bulan setelah Nurmi keluar dari panti asuhan, Nurmi berangkat ke Pondok Pesantren Al-Murahamah Banyorang di kabupaten bantaeng. Dipesantren itulah Nurmi punya niat untuk memperdalam ilmu agama dan ingin menjadi wanita yang soleha. Nurmi sangat senang dan tidak merasa asing lagi tinggal di tempat yang sederhana. Asrama Nurmi di pesantren malah lebih sederhana dibandingkan sewaktu ia masih di panti asuhan. Asrama santri putri yang terbuat dari kayu yang beratap dengan seng yang sudah berkarat. Namun, Nurmi tetap betah tinggal di pesantren itu. Nurmi juga merasa bahagia karena adiknya juga sekolah di pesantren itu. Dan banyak keluarganya yang juga sekolah di pesantren tersebut. Sebagai santri baru, Nurmi belum banyak tahu bagaimana aturan di pesantren. Secara bertahap, ia menjalani kehidupannya di pesantren. Ketika Nurmi duduk di bangku kelas 2 SMA, suatu hari ia pulang kampung karena kebetulan Nurmi baru saja mengikuti ujian akhir semester 2 di kelas 1 SMA dan diberi waktu libur selama 2 minggu. Nurmi berlibur ke rumah tante Aneng di Desa mattirowalie. Desa itu adalah desa tetangga Nurmi. Saat itu Nurmi tidak mengetahi sama sekali bahwa ada seorang pemuda yang sering berkunjung ke Rumah Tante Aneng setiap sore sampai malam. Pemuda itu biasa dipanggil Abba’. Pada hal Nurmi sangat asing yang namanya cowok yang sering berkunjung ke rumah orang tanpa tujuan yang jelas. Suatu hari,  Abba’  berkunjung ke rumah Tante Aneng tanpa ia ketahui bahwa ada seorang gadis cantik yang liburan ke rumah  tante Aneng. Ketika Abba’ melihat Nurmi pertama kali, ia merasa Nurmi adalah seorang bidadari yang jatuh dari bintang di langit. Senyumannya yang manis dan wajahnya yang cantik jelita. Membuat Abba’ di depannya ada seseorang bidadari. Abba’ punya niat untuk mendekati Nurmi dan mencuri hatinya. Tapi Abba’ tau bahwa Nurmi adalah siswa SMA di pesantren. Sehingga setiap ia melihat Nurmi ia mengelurakan kepolosan dan kesopanannya hanya untuk mendapat perhatian penuh dari Nurmi.  Nurmi sangat takut dan malu ketika ia dipanggil oleh Abba’. Karena selama ini belum pernah ada seorang cowok yang berani mendekati untuk mengajaknya ngobrol. Tapi karena Nurmi takut ia dianggap sebagai orang sombong, dengan rasa ragu Nurmi mencoba memberanikan dirinya untuk mengobrol dengan Abba’ di ruang tamu Tante Aneng. Saat Nurmi duduk dikursi dekat Abba’, Abba’ tidak basa basi lagi seperti kaum muda sekarang ketika mau mengungkapkan perasannya ia harus gombal terlebih dahulu. Tapi Abba’ tidak melakukan hal itu kepada Nurmi. Secara langsung Abba’ mengungkapkan perasaannya kepada Nurmi bahwa ia suka kepada Nurmi. Nurmi merasa kaget yang luar biasa saat mendengar kata-kata Abba’ yang telah keluar dari mulutnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak, darahnya seakan berhenti mengalir, jantungnya seperti telah copot oleh kata-kata Abba’. Nurmi memandang kosong ke arah tembok yang tersusun dengan batu bata. ia terdiam sejenak, apa yang telah terjadi padanya pada hari, jam, menit dan bahkan detik itu. Sejenak Nurmi mengingat Allah dan memohon kepadanya agar diberi kekuatan hati menghadapi semua ini memohon diberi petunjuk bagaimana agar ia bisa membalas kata-kata Abba’ dengan kata yang sopan yang tidak membuat Abba’ kecewa. Hingga akhirnya Nurmi mampu mengeluarkan kata “oh.. begitu ya”. Hanya kata itu yang bisa Nurmi ucapkan. Ia tak mampu mengeluarkan sejuat kata kepada Abba’ karena telah jujur kepadanya. Abba’ terdiam dan merasa tidak puas dengan kata-kata Nurmi. Dengan rasa takut yang menyelimuti Nurmi, ia langsung pamit dan bergegas ke arah dapur meninggalkan Abba’ sendirian di ruang tamu. Nurmi berniat bahwa besok ia akan pulang ke Desanya. Ia takut ada kesalah pahaman antara dirinya dengan Abba’.
Keesokan harinya, Nurmi pamit kepada Tante Aneng. “tante, mauka pulang dulu ke rumahku karena na suruhka pulang ajiku, ada bede yang mau ku kerja di rumahku”. Nurmi mengambil alasan palsu kepada Tante Aneng, agar Tante Aneng tidak curiga kenapa Nurmi pulang secepat itu pada hal janjinya akan berlibur di rumah Tante Aneng selama 5 hari 4 malam. Tante Aneng pun percaya dengan alasan palsu Nurmi dan mengizinkannya untuk kembali ke desanya. Disore hari, Abba’ datang dengan gaya yang tidak pernah tante aneng lihat sebelumnya. “gammara’na bajunnu bela Abba’, eroko lampa temae?”. Tanya Tante Aneng kepada Abba. “tidakji Tante aneng, maukuji ketemu sama Nurmi jadi pake baju yang baguska”. Jawab Abba’ kepada Tante Aneng. “Apa mauko ketemu sama Nurmi, pulangmi dari tadi pagiji na pulang”. Kata Tante Aneng kepada Abba. Seketika itu Abba’ merasa dunia ini telah pergi meninggalkannya karena Nurmi pergi tanpa pemberitahuan kepadanya. Dan Abba’ jujur kepada Tante Aneng bahwa ia suka dan jatuh hati kepada Nurmi. Tante aneng sangat senang karena Abba’ telah berani mengungkapkan perasannya kepada Nurmi secara langsung tanpa surat menyurat lagi. Abba’ punya niat untuk menyusul ke Rumah Nurmi. Tante Aneng setuju dengan nait Abba’ itu. Sehingga 2 hari kemudian, Tante Aneng dan Abba’ menyusul ke rumah Nurmi dengan jalan kaki yang berjarak 5 kilo meter dari rumah Nurmi. Demi perjuangn cinta Abba’ kepada Nurmi ia rela berjalan kaki menyusul ke rumah Nurmi. Ditengah jalan, ia melewati pohon cengkeh, cokelat dan melewati sungai besar yang menjadi perbatasan antara Desa somba palioi dengan desa mattirowalie. 3 jam Abba’ dan Tante Aneng jalan kaki menulusuri hutan. Mereka berdua pun sampai di rumah Nurmi. Tante Aneng masuk ke dalam rumah Nurmi tanpa salam dan tanpa permisi kepada pemilik rumah. “eh.. Tante Aneng, sama siapaki kesini? Kenapa tidak bilang-bilangki kalau mauki keseini?”. Tanya Nurmi kepada Tante Aneng. “saya itu ke sini samaka Abba’, cowok yang suka sama kamu”. Jawab tante Aneng kepada Nurmi. Nurmi memalingkan mukanya ke arah jendela rumahnya yang tidak berkaca. Tatapannya kembali kosong. Nurmi merasa dirinya bagaikan tikus yang dikejar oleh kucing. Cowok yang telah mengungkapkan perasaannya ini kembali mengejarnya. Nurmi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Nurmi juga merasa takut jika semua ini sampai diketahui oleh orang tuanya. Dengan memaksa diri, Nurmi tetap berusaha tersenyum manis di depan Abba’, cowok yang telah ia tolak cintanya secara diam-diam dalam hatinya. Nurmi berpura-pura senang atas kedatangan Abba’ ke rumahnya. Abba’ tidak punya rasa malu sedikit pun di rumah Nurmi. Sesekali ia terus mendekati Nurmi meski orang tua Nurmi ada di ruang tamu. Abba’ tidak peduli dengan tanggapan orang tua Nurmi. Setiap pagi Abba’ dan Nurmi ngobrol berdua di ruang tamu. Meskipun ibu Nurmii ada di dapur sedang memasak. Abba’ tidak peduli akan hal itu, demi cintanya kepada Nurmi. Sedangkan Nurmi sendiri merasa bingung entah bagaimana ia harus menaru mukanya karena malu kepada Bundanya. Nurmi melakukan semua itu karena tidak mau dikatakan orang sombong oleh Abba’. Seminggu lamanya Abba’ di rumah Nurmi. Selama seminggu itu Abba’ sering membantu Ayah Nurmi untuk mencari ikan di empang dengan niat untuk direstui hubungannya dengan Nurmi. Tepat pada hari senin, Abba’ kembali ke rumahnya di Desa Mattirowalie. Dan tidak tanggung-tanggung Abba’ berniat untuk melamar Nurmi.
Suatu hari, keluarga Abba’ datang ke rumah Nurmi dengan maksud ingin melamar Nurmi. Sesajian songkolo dan ayam yang dibawa oleh keluarga Abba’. Ditengah-tengah obrolan, nenek Abba’ Deng Sia menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke rumah Nurmi yaitu untuk melamar Nurmi gadis yang telah membuat Abba’ jatuh Cinta yang sangat amat mendalam. Nurmi merasa  dunia ini telah kiamat, dirinya dilamar oleh seorang cowok yang telah ia tolak cintanya secara diam-diam dalam hatinya. Selama ini Nurmi tidak pernah jujur kepada Abba’ kalau dia tidak bisa menerima cinta Abba’. Sehingga Abba’ dengan berani mengajak keluarganya  untuk datang melamar Nurmi. Nurmi terdiam membisu, apa yang telah terjadi? Mimpikah aku? Hatinya bagai tertusuk jarum cinta kasasar, mulutnya terkinci rapat, ia terpaku di kursi, kebingungan telah menguasai Nurmi. Ia bingung harus bagaimana ia menerima kenyataan ini. Nurmi takut Ayah dan Ibunya menerima lamaran itu, dan Nurmi dinikahkan paksa oleh Ayah dan Ibunya. Hal itulah yang membuat Nurmi semakin membuatnya takut. Namun, Ayah Nurmi tidak berpikiran untuk menerima lamaran itu. Ia serahkan kepada Nurmi yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Ayah Nurmi mengerti dengan keadaannya saat itu, ia ingin meneruskan sekolahnya sampai selesai dijenjang S1. Sehingga dalam lamaran ini, Ayahnya menyerahkakan semuanya kepada Nurmi. Biarlah Nurmi yang mengeluarkan keputusan apakah ia menerima lamarn ini atau tidak. Nurmi mulai menyusun kata-kata dari mana ia harus memulainya dengan kata yang sopan. Dalam hatinya timbul untuk menolak lamaran ini. “jadi begini bu, tanta dan semuanya. Maaf di tidak bisa ka’ ku rasa terima ini lamaran bela, karena  masih sekolah ka’. Kalau misalnya mau disimpan-simpanka’ untuk Abba’ tidak mauja”. Itulah kata yang Nurmi keluarkan   dari mulutnya dengan hati yang bergemetaran. Namun, keluarga Abba’ tidak kecewa dengan keputusan Nurmi menolak lamaran ini. Karena mereka paham akan keinginan Nurmi yang ingin meneruskan pendidikannya sampai ke perguruan tinggi. Sehingga mereka pulang dengan tangan kosong. Lamaran ditolak  songkolo’nya pun sudah menjadi milik keluarga Nurmi di rumahnya. Setelah Abba’ diceritakan oleh neneknya bahwa lamaran ditolak,  ia merasa cintanya telah terkubur dengan kekecewaan yang sangat mendalam. Air matanya mulai mengalir di pipinya. Wanita yang selama ini ia cintai dengan hati yang paling dalam, menolak cintanya dan tidak bisa menerima lamarannya. Seketika itu, Abba’ berperinsip bahwa ia tidak akan menikah dengan waktu yang singkat. Ia ingin mencari wanita seperti Nurmi. Dan mencoba untuk melupakan Nurmi yang telah menolak cintanya.
Nurmi kembali bersekolah di pesantren.   Ia jalani pendidikannya dibangku kelas 2 SMA dengan penuh semangat dan telah melupakan lamaran. Setahun setelah itu, Nurmi duduk di bangku kelas 3 SMA. Ia bertemu dengan seorang pemuda tampan dari desa Borong Ganjeng kabupaten Bulukumba. Pemuda itu biasa dipanggil Lucky. Lucky adalah seorang pemuda tampan, banyak wanita yang jatuh hati kepadanya karena ketampanannya. Saat pandangan pertama, ada rasa yang aneh dalam hati Nurmi dan Lucky. Mereka berdua tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya. Lucky menebak bahwa ini adalah rasa jatuh cinta. Begitu pula dengan Nurmi. Sesekali mereka mencuri-curi pandangan. Lucky merasa tidak bisa lagi menahan rasa yang timbul dalam hatinya. Sehingga ia berani mengungkapkan rasa cintanya kepada Nurmi. Dengan rasa malu dan bahagia, Nurmi menerima cinta lucky dihadapannya langsung. Bukan lagi surat menyurat. Kedua insan ini saling mencintai. Lucky adalah pemuda yang suka mabuk-mabukan. Tapi, semenjak ia berpacaran dengan Nurmi, ia mulai mengurangi perbuatannya yang terkutuk itu dan berjanji ketika ia menjadi suami Nurmi, ia akan menjadi seorang suami yang soleh dan akan mencintai Nurmi sehidup semati. Demi mendapatkan hati Nurmi, Lucky akan berbuat apa saja untuk Nurmi. Sesekali lucky membawa buah mangga muda untuk Nurmi di pesantren. Lucky tahu betul bahwa Nurmi sangat suka makan mangga muda yang dicampur dengan cukka tuak.

Sembilan bulan setelah mereka pacaran, ujian nasional pun usai. Dan sebentar lagi Nurmi akan menyelesaikan pendidikannya di bangku SMA selama tiga tahun di pondok pesantren Al-Murahamah Banyorang. Lucky menyiapkan semuanya untuk melamar Nurmi. Mulai dari songkolo dan ayam kampung yang akan ia bawa ketika melamar Nurmi. Bukan hanya lucky yang merasakan kebahagiaan, tapi Nurmi pun demikian, ia akan  menikah dengan laki-laki idamannya yang akan membiayai kuliahnya nanti. Namun, jodoh itu ada di tangan Tuhan. Meski pun manusia saling mencintai, tapi belum tentu orang ia cintai sepenuh hati akan menjadi jodohnya. Ada seorang pemuda dari kalumeme kota Bulukumba yang datang ke rumah Nurmi secara diam-diam untuk melamarnya. Nurmi tidak tahu sama sekali bahwa akan ada seorang pemuda yang akan datang melamarnya. Ayah dan bundanya tidak memberi tahu Nurmi, karena mereka tahu Nurmi pasti akan menolak  lamaran itu. Pada hal Ayah dan Ibu Nurmi akan menerima lamaran itu dan tidak akan diserahkan lagi kepada Nurmi seperti ketika Abba’ melamarnya. Lamaran pun tiba, Ayah dan Ibu Nurmi berpakain rapih dengan adat sulawesi selatan yaitu baju bodo. Sedangkan Nurmi hanya menggunakan baju kaos berwarna Pin, dan rok panjang yang berwarna merah disertai dengan kerudung panjag  yang menghiasi wajahnya. Ayah dan Ibu Nurmi tidak peduli dengan pakain Nurmi, yang penting bagi mereka adalah anaknya akan ia jodohkan dengan laki-laki pilihannya. Segerombolan keluarga Ray datang ke rumah Nurmi dengan maksud untuk melamar. Terik sinar matahari saat itu menambah keindahan dalam acara  lamaran tersebut. Nurmi duduk kursi paling pojok ia khawatir lamaran ini akan diterima oleh Ayah dan Ibunya. Pikirannya saat itu hanya tertuju kepada Lucky. Laki-laki yang sangat ia cintai. Dalam pembicaraan acara lamaran itu, ibu Ray mulai mengungkapkan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah Nurmi. “kami semua ini datang kesini puang aji, punya maksud untuk melamar anakta si Nurmi, karena saya dengar-dengar sudah selesaimi sekolah di SMA, Jadi kami bermaksud untuk mmelamarnya puang Aji”. Kata ibu Ray. Nurmi sesekali menatap langit-langit rumahnya dan matanya berkaca-kaca, khawatir orang tuanya akan mnenerima lamaran ini. “iye gitte puang, selesaimi sekolah anakku si Nurmi, kalau memang mauki kasi jodohkangi anakta’ dengan Nurmi setujuja’ saya gitte puang”. Kata Ayah Nurmi. Mata Nurmi yang tadinya berkaca-kaca, kini mulai mengeluarkan air mata. Ternyata benar Ayahnya menerima lamaran ini begitu pun dengan Ibunya. Hati Nurmi tercabik-cabik, jantungnya seakan berhenti berdetak lagi, darahnya pun seakan berhenti mengalir, hatinya telah teriris sembilu dan terluka. Nurmi bergegas pergi dari ruang tamu ke kamarnya. Ia menangis dalam kesendiriannya di kamar. Hanya ada bantal guling dalam peukannya yang menyaksikan Nurmi menjatuhkan ribuan butiran air mata. Ia meraih HP nokianya mencari kontak lelaki tercintanya yaitu Lucky. Ia menelefonnya dan akan memberitahukan kepada Lucky, bahwa ia telah dilamar oleh lelaki lain yang tidak ia kenal dan tidak ia cintai sama sekali. Dan orang tua Nurmi akan memaksanya untuk menikah dengan Ray laki-laki yang ia tidak cintai. Lucky  terdiam tanpa kata saat mendengar suara Nurmi melalui handphone bahwa Nurmi akan menikah dengan lelaki lain. Tangan Lucky bergemetar dan lemas, mulutnya terkunci oleh cinta yang kini kian terkubur. Namun, ia tetap mencoba untuk mengatakan sesuatu kepada Nurmi meski hati dan cintanya bukan milik Nurmi lagi. “semoga bahagiako Nurmi nah, ku do’akanjako itu”. Kata Lucky kepada Nurmi. Nurmi terus menangis, ia ingin berteriak kencang dalam kamarnya mengapa hal yang ia tidak inginkan selama ini terjadi padanya. Tuhan telah mempertemukan Nurmi dengan jodohnya. Mimpi Nurmi untuk kuliah semuanya telah sirna. Ia tak punya harapan lagi untuk melanjutkan pendidikannya. 1 bulan lagi ia akan menjadi seorang istri oleh suami yang tidaK ia cintai. Nurmi mengatakan kepada orang tuanya bahwa ia tidak siap untuk menikah dengan Ray, karena Nurmi tidak mencintainya. Namun, permintaan Nurmi ditolak mentah-mentah oleh orang tuanya dan dipaksa untuk tetap menikah dengan Ray.
Tepat pada tanggal 13 Juli 2009, malam mappacci pun tiba. Nurmi menggunakan baju pengantin bewarna putih polos yang biasa disebut pakain soloyor. Mukanya terlihat semakin cantik, bibirnya merah, dan disertai dengan hiasan di kepalanya yang menambah kecantikannya. Namun, kecantikan Nurmi saat itu mulai menghilang karena tangisnya. Dalam pikirannya hanya ada Lucky lelaki idamannya. Lucky telah berjanji kepadanya bahwa malam mappacci, Lucky akan datang dan menunggunya dipinggir jalan  yang berbatu. Nurmi duduk  di kursi berwarna merah di depan orang banyak di rumahnya. Ia tidak pernah terlihat tersenyum manis pada malam mappaccinya. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Nurmi bergegas ke kamar pengantinnya untuk segera melepas pakaian pengantinnya karena tidak sabar lagi untuk bertemu dengan Lucky. Ia beralasan kepada Bundanya untuk keluar rumah sebentar membeli pulsa karena ingin menelpon teman-temannya di pesantren. Pada hal semua itu bohong. Tujuan Nurmi untuk keluar rumah adalah untuk bertemu denga Lucky yang telah menunggunya dari jam 8 malam. Nurmi berlari dengan sendal jepit berwarna  hitam ditemani dengan 2 orang sepupunya yaitu Mindar dan Dumrah. Dari jauh, Lucky telah terlihat dalam pandangan Nurmi, ia terus berlari  tidak sabar  lagi   untuk menatap wajah tampannya Lucky. Akhirnya Nurmi pun berdiri di hadapan Lucky dengan air mata yang bercucuran. Rasanya ingin memegang tangan dan memeluk Lucky, tapi Nurmi masih tersadar bahwa Lucky bukanlah suami yang belum menjadi muhrimnya untuk ia peluk. Nurmi hanya bisa menggenggam tangannya sendiri dan  entah apa yang harus ia katakan kepada Lucky. orang-orang di rumah Nurmi merasa khawatir karena Nurmi keluar rumah selama 1 jam belum pulang-pulang juga. “keluar tadi Nurmi ku lihat, na bilangi mau bede’ beli pulsa”. Kata Adik Nurmi. Daeng Lampe pun langsung bergegas pergi mengikuti arah Nurmi. Akhirnya Nurmi ketahuan oleh Daeng Lampe ketemuan dengan Lucky di pinggir jalan. Daeng Lampe mengeluarkan badiknya dengan niat untuk menikam perut Lucky. Tapi Nurmi menahan tangan Daeng Lampe dan memohon agar Daeng Lampe tidak melakukan hal ini kepada Lucky. Akhirnya Daeng Lampe tidak jadi mengeluarkan badiknya. Seketika itu, Nurmi memohon kepada Daeng Lampe  dengan air mata yang bercucuran di pipinya agar Daeng Lampe tidak meberitahukan kepada Orang tua Nurmi bahwa Nurmi telah bertemu dengan Lucky di pinggir jalan setelah malam mapaccinya usai. Daeng Lampe mengerti dengan nasib Nurmi dan ia berjanji tidak akan meberitahukan kepada orang tua Nurmi. Daeng Lampe dan Nurmi pulang ke Rumah dan Lucky meraih motornya dan langsung pergi dari pinggir jalan berbatu itu. Malam itu, seakan tidak terjadi apa-apa kepada Nurmi di tengah banyak orang di rumah Nurmi.
Tepat pada tanggal 14 juli 2009, tibalah hari ijab Qabul dan pesta pernikahan Nurmi dan Ray. Daging kuda mulai tercium sedapnya di depan rumah Nurmi. Satu per satu para tamu undangan datang mengadiri pesta pernikahan Nurmi dan Ray. Nurmi masih dalam kamar pengantin sedang dirias dengan pakaian  pengantin (pakaian kol).  Pakaian kol adalah sebuah sebutan nama baju pengantin di seulaweis selatan alias baju baju bodo. Baju itu terlihat cantik dan mengkilap seperti bintang di langit yang menambah kecantikan Nurmi. Tapi Nurmi masih saja menangis, hatinya masih terasa sakit karena teriris luka sembilu. Orang tuanya memaksanya menikah dengan Ray, lelaki yang tidak ia cintai. 2 jam berlalu, pengantin laki-laki pun datang dan akan ijab Qabul di ruang tamu yang dihadiri oleh imam Desa dan Pak Desa serta masyarakat Desa. Dengan penuh semangat imam Desa pun langsung menikahkan Ray dengan Nurmi. “saya nikahkan Ray bin  Cacit dengan Nurmi binti H. Sulle dengan seperangkat alat shalat dan pohon cengkeh dibayar tunai”. “saya terima nikahnya Nurmi binti H. Sulle dengan seperangkat alat shalat dan pohon cengkeh dibayar tunai”. Jawab Ray. Para saksi serentak mengatakan “SAH”. Akhirnya Nurmi dan Ray menjadi suami istri. Ray sangat bahagia karena wanita cantik pilihannya telah ia milliki, meski wanita itu tidak mencintainya. Nurmi, duduk di ranjang pengantin dalam kamar, Ray pun menyusul dalam kamar yang ditemani oleh para pengantar pengantin pria. Dalam kamar itu Nurmi dan Ray berfoto model yang disaksikan oleh banyak Orang. Ray terlihat bahagia dan bibirnya selalu  tersenyum. Sedangkan Nurmi hanya cemberut dan  tidak pernah menampakkan senyum manisnya dalam foto model pengantin bersama Ray. Setelah foto model usai, Nurmi dan Ray ke ruang tamu untuk persandingannya sebagai seorang pengantin. Rumah Nurmi penuh dengan tamu undangan. Tapi Lucky tidak bisa menghadiri undangan pernikahan Nurmi karena ia tidak sanggup melihat Nurmi dalam persandingannya. Biasanya, pesta pernikahan seseorang adalah hari yang penuh kebahagiaan. Tapi, itu tidak terjadi kepada Nurmi,  hari pesta pernikahan bukanlah hari yang mebuatnya bahagia. Akan tetapi hari yang membuatnya menangis dan larut dalam kesedihan yang sangat amat mendalam. Dalam persandingan itu, Nurmi dan Ray bersama keluarga berfoto bersama. Ray selalu terlihat tersenyum bahagia tapi Nurmi malah sebaliknya. Ia menangis ketika berfoto dengan keluarga. Entah apa yang terjadi padanya. Kesedihannya tak bisa ia kuburkan ke dalam tanah. Sehingga ia terus menangis dan bedaknya mulai luntur. Ayah Nurmi kesal melihat Nurmi menangis di tengah banyak orang dalam persandingannya. “kenapako itu kau do Nurmi menangis terus!!”. Bentak Ayah Nurmi kepadanya. Nurmi semakin hatinya tercincang-cincang oleh pedam yang tajam karena Ayahnya tega membentaknya di tengah banyak orang dalam persandingannya. Seketika itu  Nurmi mengamuk di tengah banyak orang, kipas tangan yang ada di tangan Nurmi, ia lemparkan ke arah pintu rumah. Dan kue sesajian yang disediakan oleh para tamu undangan, ia menendangnya hingga kue-kue itu terlempar jauh dan berantakan. Semua tamu undangan berdiri dan merasa heran atas tingkah Nurmi saat itu. Baru pertama kali mereka menyaksikan seorang pengantin yang mengamuk dihari pesta pernikahannya. Nurmi kembali duduk di kursi pengantin sambil menangis. Ray saat itu merasa kecewa dan membuka pakain pengantinnya. Tante Lia mendekati Ray untuk berusaha menenangkannya agar kekecewaannnya hilang. Sedangkan Nurmi berusaha ditenangkan oleh sahabat-sahabatnya agar ia menjalani hari pesta pernikahannya dengan ketenangan dan kebahagiaan. 20 menit berlalu suasana mulai tenang, Ray mengenakan kembali baju pengantinnya. Dan Nurmi mulai tenang, rasa amarah dan kekecewaannya mulai hilang. Hingga hari itu pesta pernikahan kembali berjalan lancar dengan suasana  yang tenang dan tidak disertai lagi dengan tangisan dan kesedihan Nurmi.
Dua minggu setelah Ray dan Nurmi mejadi suami istri yang sah, Nurmi masih saja teringat kepada Lucky. Dan ia tidak menyimpan setitik cinta untuk Ray. Semuanya ada pada Lucky. Namun, Ray berusaha keras agar istrinya itu tidak lagi memikirkan Lucky karena Nurmi telah menjadi miliknya. Banyak hal yang Nurmi lakukan agar bisa mencintai Ray, salah satunya adalah meminum air yang telah dibaca-baca oleh orang yang dipercaya bahwa ketika meminum air itu, Nurmi akan semakin cinta kepada Ray. Tapi dua minggu berlalu Nurmi belum juga meneteskan cinta suci untuk Ray. Hari-hari terus berlalu, hingga dalam  waktu 2 bulan setelah pesta pernikahan Ray dan Nurmi, terlihat tanda-tanda kehamilan Nurmi, ia mula maul-mual, perasaannya tidak enak. Inilah yang menandakan bahwa Nurmi sedang hamil. Ray sangat bahagia saat mengetahui bahwa Nurmi sedang hamil. Telah ada calon titipan Tuhan dalam perut istri tercintanya. Nurmi juga   berusaha untuk tetap tersenyum bahagia di depan suami atas kehamilannya. Mulai detik itu, ia bertekad bahwa ia akan menjadi istri yang soleha dan  setia buat Ray, dan akan mencintinya sehidup semati.

Hingga pada tanggal 8 Oktober 2010, lahirlah anak pertamanya tepat pada adzan Maghrib di kumandankan pada bulan ramadhan. Ia memberi nama anak pertamanya “Maulana Zubair”. Dan menyusul anak keduanya lahir pada tanggal 6 Desember 2013. Anak kedua itu, Ray emeberi nama “Asmaul Husnah”. Ray dan Nurmi saat ini menjadi keluarga yang bahagia, keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Meski seorang Nurmi dinikahkan paksa oleh orang tuanya tapi akhirnya ia bisa bahagia dan mencintai suaminya sehidup semati.

Sabtu, 12 September 2015

Pertarungan Antara Aku dan Rintangan Hidup


Terlahir dari sebuah desa terpencil, ramai dengan orang-orang yang buta huruf, haus akan pendidikan dan jauh dari keramaian kota. Desa Benteng Palioi, ya itulah nama Desanya yang dulu, sekarang berubah menjadi Desa Somba Palioi. Di Desa itulah aku lahir, dan mengenyam bangku pendidikan di Sekolah Dasar selama 8 tahun. Mengapa 8 tahun? Bukankah SD itu hanya 6 tahun?. Iya 6 tahun bagi mereka-mereka yang otaknya normal. Beda denganku yang saat itu otaknya eror. Belum bisa berhitung, perkalian, pengurangan, pada hal 2 tahun sudah duduk di bangku kelas 1 SD. Itulah Risal yang dulu. insyaAllah Risal yang sekarang sudah berubah. J.

Perjalanan hidup yang aku jalani, mulai dari kanak-kanak hingga duduk dibangku SD, SMP, SMA dan bahkan duduk dibangku kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Darul Hikmah Kota Bekasi, disamping itu juga mengajar Qur’an di lembaga Rumah Qur’an Mulia pusat dan cabangnya. Yang namanya rintangan hidup sudah menjadi teman akrab alias sahabat yang paling dekat dalam hidupku. Aku tidak pernah menawarkannya untuk menjadi sahabat dalam hidupku, tapi malah ia yang menawarkan persahabatan itu. Namun, persahabatn itu ia jadikan sebagai musuh dalam selimut. Dan tanpa persetujuan dariku, ia hadir dalam setiap tahun, bulan, pekan, hari, menit dan bahkan setiap detik dalam hidupku. Ia begitu dekat denganku. Sudah terlalu sering ia membuat hatiku menangis, dan meratapi perjalanan hidupku di dunia ini. ia tidak pernah berbicara, ia hanya membisu bagaikan patung batu, tapi sekali bergerak, aku membutuhkan kesabaran yang super dalam, stamina yang kuat, menghapus air mata, dan mengusap dada untuk menghadapinya. Rintangan hidup itu, ia datang silih berganti, dan tidak pernah berhenti bagaikan gelombang air laut. Ia tetap berselimut denganku dalam kehidupan di dunia ini. mungkin ia merasakan kehangatan dalam selimut itu, tapi aku merasakan panas yang tidak ada duanya dalam selimut itu.

Ia tidak pernah perduli dengan sakit, kelelahan, keletihan dan kesabaran yang aku rasakan untuk menghadapinya. Ia tidak pernah  peduli berapa banyak air mata yang telah aku jatuhkan dan ku biarkan ia mengalir begitu saja. Namun, aku tidak pernah berdiam diri ketika aku  terjatuh  karenanya. Ku paksa diriku untuk bangkit kembali, terus bergerak, bekerja keras, berusaha dan berdo’a untuk menggapai apa yang aku inginkan di dunia ini dan lebih-lebih lagi untuk akhirat meski ia terus datang untuk mematahkan segala pengharapanku. Pagi, siang, sore dan malam aku terus bertarung melawannya. Ia tidak pernah aku kalahkan, begitu pun dengannya, ia tidak pernah mampu mengalahkanku. Ketika ia mengeluarkan 100 jurus  untuk menjatuhkanku dan mematahkan semangat serta harapanku, aku mengeluarkan 1.000 jurus untuk menenggelamkannya ke dalam perut bumi. Tapi ia begitu kuat, ia tidak pernah aku kalahkan dan aku belum pernah berhasil untuk menenggelamkannya ke dalam perut bumi. Paling aku hanya bisa melemparkannya ke dasar laut. Namun, ia tetap kembali bersama sayap-sayapnya. Senyum yang menyapanya saat ia datang kembali untuk menjatuhkanku yang sekian kalinya. Tapi, aku akan terus bertarung melawannya, membulatkan niat dan tekadku  bahwa aku punya mimpi yang harus aku capai di dunia ini dan di akhirat nanti. Ketika ia berdiri tegak di hadapanku, aku langkah tegak maju untuk menabraknya.


Entah sampai kapan rintangan hidup itu pergi dan menjauh dari hidupku. Sampai detik ini, aku masih bertarung melawannya dan menunggu waktu yang menentukan siapakah yang akan menang pada akhirnya.