Minggu, 05 Oktober 2014

ketika aku berbeda dengan mereka.

“KETIKA AKU BERBEDA DENGAN MEREKA”

Hidup ini kadang diartikan oleh sebagian orang adalah kehidupan yang sangat kejam. Mengapa mereka katakana seperti itu? Karena mereka tidak menyadari dan tidak mengerti arti sebuah kehidupan. Padahal, hidup sangatlah indah dengan selalu mensyukuri dan selalu beribadah kepada  Allah yang telah menciptakan kita serta mengerti akan perbedaan dalam hidup ini. Hidup miskin  atau pun kaya. Seperti itulah yang namanya hidup. Tidak mungkin kalau di dunia ini, semua orang menjadi pejabat. Kalau semua orang menjadi pejabat, siapa yang akan memanen padi, kopi, dan lainnya?. Itulah perbedaan yang harus kita terima dan dijalani.
Aku adalah anak yang terlahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Sejak umur  3-5 tahun, aku selalu melihat perbedaan yang selalu hadir menemani kekanak-kanakkanku. Mulai dari pakaian, uang jajan dan mainan. Semuanya terlihat berbeda dengan yang lain. Aku masih teringat saat SD Kelas 1-3. Ke sekolah dengan celana yang sobek, sepatu yang talinya dari tali rapiah, dan bahkan sepatuku dianggap oleh orang-orang sepatu yang terbuat dari kura-kura. Karena sepatu kananku lebar seperti kura-kura. Namun, hal itu tidak menggoyahkan semangatku dalam berjuang mencari ilmu pengetahuan. Demi keluargaku, khususnya Ayah dan Ibu serta saudara-saudaraku. Dengan puluhan butiran air mata yang terjatuh dari kedua mataku membasahi baju putihku. Kadang, ada rasa iri hati yang aku rasakan saat melihat teman-temanku jajan bakwang dan es pisang ijo di sekolah. Aku hanya duduk terdiam membisu di kelas tak punya uang untuk jajan seperti mereka. Kadang, perutku bernyanyi dan berteriak minta makan. Tapi, apalah daya kantong celanaku hanya terisi batu kecil mainanku. Hari-hari terus berlalu, perutku masih saja selalu berteriak minta makan. Karena orang tuaku tidak setiap hari memberiku uang jajan, akhirnya aku berinisiatif untuk membawa buah duku dan rambutan ke sekolah untuk mengisi perutku saat lapar.  Suara ledekan dan tawa yang bergelombang dan berbunyi nyaring yang selalu terdengar di kedua kupingku. “haha… pedagagng buah ke sekolah”. Kata itulah yang sering terdengar.
Kebiasaanku itu, terus aku bawa sampai selesai SD. Aku sadar dan aku mengerti akan perbedaan yang aku alami saat itu. Ayah dan Ibuku hanya seorang petani singkong, berangkat pagi pulang malam. Sedangkan orang tua teman-temanku penghasil cengkeh, kopi dan cokelat hingga mereka bisa jajan setiap hari di sekolah. Seiring dengan waktu yang berputar mengitari hidupku, aku berprinsip “Aku bisa lebih pintar dari kalian”. Dengan tekad dan semangatku yang kuat, aku bisa membuktikan  semua itu di kelas 4 SD dengan meraih juara kelas sampai tamat. Dan akhirnya aku juga bisa  menjadi ketua pramuka, ketua kelas, dan satu-satunya siswa SD di sekolah itu yang lulus MTQ tingkat kabupaten bulukumba. Aku melihat mata ibuku yang berkaca-kaca dalam pelukanku, dan akhirnya terpecahlah dan mengalir membasahi pipi ibuku melihat perbedaan dan perubahan yang aku miliki.

Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun. Membawaku duduk di bangku SMP podok pesantren Al-Furqan. Resiko yang harus aku terima adalah berpisah dengan orang tuaku. Kalau dikatakan rindu, yah… rindunya sangat luar biasa. Aku merantau bukan karena aku bosan hidup dengan orang tuaku dengan ekonomi yang tidak mendukung. Tapi, aku merantau di luar kota karena aku ingin menciptakan dan memberikan sesuatu hal baru bagi orang tuaku. Mereka tidak mengharapkan setumpuk uang dalam kesuksesanku, bukan segudang emas yang mereka minta dalam kesuksesanku, bukan juga sebatang perunggu yang mereka harapkan dalam kemenanganku. Tapi, yang mereka inginkan dariku adalah aku menjadi anak yang soleh yang selalu mendo’akan mereka. Karena do’a mereka yang selalu mengiringi setiap langkah perjuanganku. Aku tak ingin mengikuti sahabat-sahabatku yang telah terjerumus ke dalam hal yang tidak diharapkan oleh orang tuanya. Aku ingin memberikan yang berbeda dan yang terbaik kepada orang tuaku salah satunya adalah menjadi anak yang soleh dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan pendidikan tanpa biaya 1 rupiah pun dari mereka. Saat kelas 3 SMP, aku ingin sekali sekolah di SMA Negeri seperti sahabat-sahabatku. Tapi, Ayahku tidak menerima keputusanku itu. Karena Ayahku tidak mampu untuk membiayaiku untuk  sekolah di SMA Negeri. Aku menangis dalam pelukan hangat ibuku, dan hatiku berteriak kencang “Ya Allah… mengapa aku harus berbeda dengan mereka,mengapa aku tidak sama dengan mereka   ya Allah…”. Setetes demi setetes, Kristal beningku mengalir dan menari di atas kerudung ibuku. Namun, Allah berkehendak lain. Dengan kekuasaan Allah, Allah berkehendak lain aku dapat beasiswa full pendidikan SMA di Jakarta dari yayasan muslim jabal haq. Akhirnya aku memilih itu, dengan restu orang tuaku, aku merantau dari Sulawesi selatan ke Jakarta. Aku ingin membuktikan bahwa aku lebih bisa dari mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar