“KETIKA AKU BERBEDA DENGAN MEREKA”
Hidup
ini kadang diartikan oleh sebagian orang adalah kehidupan yang sangat kejam.
Mengapa mereka katakana seperti itu? Karena mereka tidak menyadari dan tidak
mengerti arti sebuah kehidupan. Padahal, hidup sangatlah indah dengan selalu
mensyukuri dan selalu beribadah kepada
Allah yang telah menciptakan kita serta mengerti akan perbedaan dalam
hidup ini. Hidup miskin atau pun kaya.
Seperti itulah yang namanya hidup. Tidak mungkin kalau di dunia ini, semua
orang menjadi pejabat. Kalau semua orang menjadi pejabat, siapa yang akan
memanen padi, kopi, dan lainnya?. Itulah perbedaan yang harus kita terima dan
dijalani.
Aku
adalah anak yang terlahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Sejak
umur 3-5 tahun, aku selalu melihat
perbedaan yang selalu hadir menemani kekanak-kanakkanku. Mulai dari pakaian,
uang jajan dan mainan. Semuanya terlihat berbeda dengan yang lain. Aku masih
teringat saat SD Kelas 1-3. Ke sekolah dengan celana yang sobek, sepatu yang
talinya dari tali rapiah, dan bahkan sepatuku dianggap oleh orang-orang sepatu
yang terbuat dari kura-kura. Karena sepatu kananku lebar seperti kura-kura. Namun,
hal itu tidak menggoyahkan semangatku dalam berjuang mencari ilmu pengetahuan.
Demi keluargaku, khususnya Ayah dan Ibu serta saudara-saudaraku. Dengan puluhan
butiran air mata yang terjatuh dari kedua mataku membasahi baju putihku.
Kadang, ada rasa iri hati yang aku rasakan saat melihat teman-temanku jajan
bakwang dan es pisang ijo di sekolah. Aku hanya duduk terdiam membisu di kelas
tak punya uang untuk jajan seperti mereka. Kadang, perutku bernyanyi dan
berteriak minta makan. Tapi, apalah daya kantong celanaku hanya terisi batu
kecil mainanku. Hari-hari terus berlalu, perutku masih saja selalu berteriak
minta makan. Karena orang tuaku tidak setiap hari memberiku uang jajan,
akhirnya aku berinisiatif untuk membawa buah duku dan rambutan ke sekolah untuk
mengisi perutku saat lapar. Suara
ledekan dan tawa yang bergelombang dan berbunyi nyaring yang selalu terdengar
di kedua kupingku. “haha… pedagagng buah ke sekolah”. Kata itulah yang sering
terdengar.
Kebiasaanku
itu, terus aku bawa sampai selesai SD. Aku sadar dan aku mengerti akan
perbedaan yang aku alami saat itu. Ayah dan Ibuku hanya seorang petani
singkong, berangkat pagi pulang malam. Sedangkan orang tua teman-temanku
penghasil cengkeh, kopi dan cokelat hingga mereka bisa jajan setiap hari di
sekolah. Seiring dengan waktu yang berputar mengitari hidupku, aku berprinsip
“Aku bisa lebih pintar dari kalian”. Dengan tekad dan semangatku yang kuat, aku
bisa membuktikan semua itu di kelas 4 SD
dengan meraih juara kelas sampai tamat. Dan akhirnya aku juga bisa menjadi ketua pramuka, ketua kelas, dan
satu-satunya siswa SD di sekolah itu yang lulus MTQ tingkat kabupaten bulukumba.
Aku melihat mata ibuku yang berkaca-kaca dalam pelukanku, dan akhirnya terpecahlah
dan mengalir membasahi pipi ibuku melihat perbedaan dan perubahan yang aku
miliki.
Hari
demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun. Membawaku duduk di bangku
SMP podok pesantren Al-Furqan. Resiko yang harus aku terima adalah berpisah
dengan orang tuaku. Kalau dikatakan rindu, yah… rindunya sangat luar biasa. Aku
merantau bukan karena aku bosan hidup dengan orang tuaku dengan ekonomi yang
tidak mendukung. Tapi, aku merantau di luar kota karena aku ingin menciptakan
dan memberikan sesuatu hal baru bagi orang tuaku. Mereka tidak mengharapkan
setumpuk uang dalam kesuksesanku, bukan segudang emas yang mereka minta dalam
kesuksesanku, bukan juga sebatang perunggu yang mereka harapkan dalam
kemenanganku. Tapi, yang mereka inginkan dariku adalah aku menjadi anak yang
soleh yang selalu mendo’akan mereka. Karena do’a mereka yang selalu mengiringi
setiap langkah perjuanganku. Aku tak ingin mengikuti sahabat-sahabatku yang
telah terjerumus ke dalam hal yang tidak diharapkan oleh orang tuanya. Aku
ingin memberikan yang berbeda dan yang terbaik kepada orang tuaku salah satunya
adalah menjadi anak yang soleh dan berusaha semaksimal mungkin untuk
mendapatkan pendidikan tanpa biaya 1 rupiah pun dari mereka. Saat kelas 3 SMP,
aku ingin sekali sekolah di SMA Negeri seperti sahabat-sahabatku. Tapi, Ayahku
tidak menerima keputusanku itu. Karena Ayahku tidak mampu untuk membiayaiku
untuk sekolah di SMA Negeri. Aku
menangis dalam pelukan hangat ibuku, dan hatiku berteriak kencang “Ya Allah…
mengapa aku harus berbeda dengan mereka,mengapa aku tidak sama dengan mereka ya
Allah…”. Setetes demi setetes, Kristal beningku mengalir dan menari di atas
kerudung ibuku. Namun, Allah berkehendak lain. Dengan kekuasaan Allah, Allah
berkehendak lain aku dapat beasiswa full pendidikan SMA di Jakarta dari yayasan
muslim jabal haq. Akhirnya aku memilih itu, dengan restu orang tuaku, aku
merantau dari Sulawesi selatan ke Jakarta. Aku ingin membuktikan bahwa aku
lebih bisa dari mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar