Jumat, 10 Oktober 2014

Mengadu Nasib di Perantauan

“MENGADU NASIB DI PERANTAUAN”

Para pembaca yang dirahmati Allah. Mungkin tidak asing lagi kita mendengar sebuah kisah sang perantau yang sukses di kemudian hari. Merantau, ya.. dalam perantauan memang banyak cobaan yang datang menerpa. Kali ini saya akan menyampaikan sebuah kisah sang perantau yang mengadu nasib di Jakarta.
Tepat pada tanggal 15 Juni 2011 yang lalu, di gedung Grahapena Makassar. Berkumpullah para penerima beasiswa pendidikan SMA di Jakarta  untuk mengikuti acara pelepasan. dari berbagai macam kabupaten dan anak pelosok dari provinsi Sulawesi Selatan. Salah satunya adalah Mujammil Abdullah yang biasa dipanggil  Jammil, Emil dan Amure. Ya… namanya emang banyak, tapi orangnya tetap satu dan mukanya tidak pernah berubah. Jammil ini adalah seorang perantau dari kabupaten sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Ia mulai merantau di Jakarta tepat pada tanggal 16  Juni 2011 yang lalu. Kesempatannya mendapatkan beasiswa pendidkan SMA dari Yayasan Muslim Jabl Haq (YMJH), membuatnya punya semangat juang yang sangat tinggi. Ia bermimpi menjadi seorang Bupati yang cerdas, Bupati yang bisa membangun Kabupatennya yang nan jauh disana. Selama ia SMA, ia menjabat sebagai ketua Asrama pada tahun kedua di perantauannya. Memimpin teman-temannya mengadakan sebuah acara yang diadakan se- Kota Bekasi. Yaitu turnament futsal U 19. Dan acara itu sukses dengan meriah. Kebetulan dalam acara itu saya yang menjabat sebagai koordinator keuangannya. Hehe…lumayan banyak juga dana yang digunakan.

Diperantauan inilah Jammil mengadu nasib, belajar yang giat hingga ia bisa menjadi juara kelas. Alhamdulillah. Tekadnya dan niatnya memang kuat yang tidak bisa terpatahkan oleh apa pun. Jammil adalah sang perantau yang kuat. Ia tidak pernah goyah setiap cobaan datang menerpanya. Ia punya benteng yang kuat yaitu niat dan tekad untuk meraih cita-citanya. Semua itu terlihat ketika ia lulus SMA pada tahun 2014 ini, dan menjadi alumni SMAN 11 Kota Bekasi. Ia mulai hidup selangkah demi selangkah dengan ditemani oleh kehidupan yang  begitu keras di perantau di Ibu Kota. Setelah lulus SMA, Jammil mendaftar kuliah di UNPAD melalui jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Namun hasilnya ia gagal. Jammil tidak berhenti disitu saja. Ia mendaftar lagi di UNHAS melalui jalur seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN). Namun jalur ini membuatnya ia gagal lagi. Apakah Jammil berhenti berjuang? Apakah Jammil menyerah? TIdak!! Ia tidak pernah menyerah dengan tantangan hidup ia lewati. Ia selalu terlihat bahagia meski hatinya berat menjalani hidup di perantauan. Dengan kegagalan itu, ia bekerja dan menabung saat ini untuk membiayai kuliahnya tahun depan. Bagaimana kehidupannya saat ini? Sungguh luar biasa berat. Saya tau karena ia adalah teman seperjuanganku di perantauan. Ia berangkat kerja mulai dari jam 06.30  pagi dengan bersepeda. Sedangkan tempat kerjanya lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Ia bekerja di koperasi madina Indonesia. Iya, memang keren nama tempat kerjanya. Tapi pekerjaannya tidak sekeren dengan kerjanya, beda 180 derajat. Menagi utang di setiap rumah yang meminjam uang di koperasi, yah.. itulah pekerjaannya si Jammil. Yang menurut saya lumayan butuh tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Meskipun begitu, semangatnya tetap membara untuk meraih cita-citanya. Ia kadang curhat dengan saya akan kehidupan yang begitu keras di perantauan. Selalu ku simak dengan baik bait per bait kata-kata yang ia ucapkan ketika curhat. Sedih..yah.. begitulah yang saya rasakan mendengarkan curahan hatinya.tapi seperti yang saya katakana tadi, ia selalu terlihat tersenyum. Selalu ku do’akan semoga ia menjadi orang sukses, menjadi seorang Bupati kabupaten Sinjai yang amanah, tidak korupsi dan selalu menyerahkan dirinya kepada Allah SWT. Selamat berjuang Jammil, saya sahabatmu yang selalu mendo’akanmu selalu. Mintalah do’a dari orang tuamu, dan dekatkan dirimu kepada Allah SWT. Kita sama-sama sang perantau, yakinlah kita pasti bisa berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar