Aku
adalah anak ke dua dari tiga bersaudara aku biasa dipanggil Aco. Ayahku adalah
seorang petani dan Ibuku seorang Ibu rumah tangga. Aku bahagia punya keluarga
yang sederhana dan selalu berkumpul dalam setiap waktu. Main bareng dengan adik
dan abang. Suatu hari Ayah berangkat kerja ke kebun membawa cangkul yang
telah disiapkannya dua hari yang lalu.
Ketika ia mulai melangkahkan kakinya keluar rumah aku berlari dan memeluknya
“Ayah..aku sayang Ayah, Ayah yang kuat ya kerjanya”. Kataku dengan penuh rasa
bahagia. “Iya nak, Ayah akan bekerja untuk kalian, Ibu, adik dan abangmu. Kamu
jangan jadi anak nakal ya, harus jadi
anak yang baik”. Kata Ayahku dengan suara yang lembut. Air mataku menetes
membasahi pipiku setelah aku mendengar nasehat Ayahku. Aku memeluknya dengan
pelukan erat “Iya Yah, aku janji aku akan jadi anak yang baik”. Kataku dengan
suara yang bersedu-sedu. Aku melepas pelukan dari Ayahku, dan Ayahku pergi
membawa cangkulnya. Ku tatap langkah demi langkah kaki Ayahku. Semakin jauh
Ayahku semakin menghilang dari pandanganku. Setelah Ayah tak terlihat lagi dari
pandanganku, aku masuk ke dalam rumah menemui Ibu yang sedang memasak. “bu,
Ibu lagi masak apa hari ini?” tanyaku
kepada Ibu. “nih, Ibu lagi masak sayur sama nasi”. Jawab Ibuku sambil
tersenyum. Perlahan aku memperhatikan senyuman Ibu, terlihat bahagia yang
sangat mendalam yang aku rasakan saat menatap senyuman Ibu. Ibuku mirip dengan
adikku yang paling kecil, Lela. “Ibu, boleh gak aku bantu Ibu masak? Laki-laki
gak ada salahnya kan kalau belajar masak?”. Tanyaku kepada Ibu. Ibu tersenyum
kembali mendengar tawaranku untuk
membantunya memasak. “iya nak, boleh. Laki-laki gak ada salahnya kok kalau
belajar masak”. Kata Ibu dengan wajah yang terlihat bahagia. “kebetulan Ibu mau
ke warung beli garam sama bawang, nasi
dan sayurnya kamu yang selesaikan masaknya ya nak” kata Ibu. “iya bu siap”
kataku dengan semangat. Ibu pun bergegas ke warung dan aku melanjutkan memasak
sayur dan nasi.
Dua puluh menit kemudian, aku
menunggu kedatangan Ibu dari warung. Kebetulan masakannya sudah aku selesaikan.
“ibu mana ya kok lama bangat ke
warung?”. Hatiku bertanya-tanya kemana Ibu. Tiba-tiba terdengar suara seorang
laki-laki “tolong…tolong…tolong…ada orang pingsan”. Mendengar suara itu aku
bergegas pergi dan berlari menuju sumber suara itu. Seteleh sampai, pandanganku
tertuju pada sosok seorang wanita yang terbaring tak berdaya di tengah jalan.
Lalu aku berlari menghampirinya. Dan ternyata ia adalah Ibuku. Tanpa sadar aku
berteriak “Ibu…Ibu…Ibu…Ibu kenapa? Bangun bu”. Teriakku sambil memeluk Ibu. Warga
kampung mulai berdatangan dan membantu mengantarkan Ibu pulang ke rumah. Aku
langsung berlari ke kebun tempat Ayahku bekerja. Kebetulan di rumah ada abang
dan adikku serta tetanggaku yang menjaga ibu yang masih dalam keadaan pingsan.
Selama ini, aku tak pernah berani ke kebun sendirian karena banyak babi yang
berkeliaran di kebun. Tapi kali ini, aku tak merasa takut lagi demi Ibuku. Aku
terus berlari tanpa menghiraukan apa yang ada di depanku. Dan akhirnya aku pun
tiba di kebun tempat Ayah bekerja “Ayah…Ayah… pulang Yah, Ibu lagi pingsan di
rumah” teriakku saat memanggil Ayah. “apa nak, Ibu pingsan ?!” kata Ayah dengan
kaget. “iya yah, Ibu pingsan”. Kataku. Seketika itu, Ayah bergegas pergi dan
berlari dan melemparkan cangkulnya ke arah kanannya dan tidak menghiraukannya
lagi. Aku pun menyusul Ayah pulang ke rumah. Setelah tiba di rumah, warga mulai
berdatangan ke rumahku untuk menjenguk Ibuku. Aku pun masuk ke dalam rumah
dengan langkah yang cepat. Ku lihat Ayahku memeluk Ibuku dalam keadaan lemah
tak berdaya “Ibu kenapa bu? Kok bisa begini?” kata Ayahku kepada Ibuku. Namun, ibuku tetap saja terdiam membisu tanpa
mengucapkan satu kata dari bibirnya. Tetangga-tetanggaku yang ada dalam ruangan
itu menangis melihat ayahku. Mereka mengira bahwa Ibuku tak akan bertahan hidup
lebih lama lagi di dunia ini. “sabar ya nak, insyaAllah nanti istrimu akan
sadar lagi, gak usah khawatir” kata nenekku yang berusaha menenangkan Ayahku.
Satu
jam kemudian, Ibuku sadar dan menggenggam tangan ayahku. Aku mendekati Ibuku,
ia menangis saat melihatku dan ke dua saudaraku. Ia tetap membisu tak ada kata
yang mampu ia ucapkan. Sampai satu minggu kemudian, Ibuku tetap tak mampu
mengeluarka satu kata pun dari mulutnya. Ketika itu, mentari mulai terlihat
dibalik gunung, ku tatap Ibuku dengan tatapan tajam karena mukanya mulai
terlihat pucat “Ibu, Ibu kok wajahnya jadi pucat?” tanyaku kepada Ibu.
Tiba-tiba Ayah menepuk punggungku dari belakang “Apa? Wajah ibumu pucat?!”.
Kata Ayahku dengan kaget. Ayah menggenggam tangan Ibu saat itu dan mengusap air
mata Ibu yang terus mengalir di pipinya. “ibu yang kuat ya, InsyaAllah Ibu akan
sembuh kok, Ayah akan tetap do’akan Ibu”. Kata Ayah kepada Ibu. Namun, Ibu
masih tetap terdiam membisu dan menatap tajam wajah Ayahku. Makin lama mata Ibu
mulai tertutup dan air matanya berhenti mengalir. Seketika itu pula Ayahku
makin menggenggam erat tangan ibuku, aku duduk disebelah kiri Ibu. Air mata
ayahku makin deras dan berteriak “Ibu…Ibu..Ibu..” aku kaget mendengar Ayah,
“ada apa ini? kok Ayah berterika sekencang itu” tanyaku dalam hati. Ternyata
Ibuku telah tiada. Ia pergi meninggalaknku, meninggalkan Ayah dan ke dua saudaraku. Aku menangis memeluk ibu yang tak bernyawa
lagi, adikku Lela dan abangku pun memeluk Ibu sambil menangis atas kepergian
Ibu selama-lamanya.
Sebulan
kemudian, aku hidup tanpa kasih sayang seorang Ibu. Aku dan kedua saudaraku
jadi anak yatim. Aku pun harus mengurus adikku Lela yang baru berumur dua tahun. Ayahku tetap bekerja sebagai
seorang petani. Kami menjalani hidup tanpa cinta dan kasih sayang seorang Ibu.
setelah kepergian Ibu, Ayahku mulai mendekati perempuan lain untuk menggantikan
sosok Ibuku dalam hidupku. Tapi aku rasa, tak ada wanita yang mampu
menggantikan Ibu dalam hidupku meskipun ia telah tiada. Tapi aku tidak bisa
melarang Ayahku. Dan akhirnya Ayahku pun menikah dengan seorang perempuan tetanggaku. Dan kini aku
dan kedua saudara ku jadi anak tiri perempuan itu. Seminggu dua minggu keluarga
baru kami tetap hangat. Namun, memasuki minggu ke-3, Ibu tiriku mulai terlihat
berbeda dari biasanya, kelembutannya mulai terkikis. Dan Ayahku tak pernah
peduli denganku lagi dan kedua saudaraku. Suatu hari Ibu tiriku memerintahku
untuk mencari kayu bakar “Aco, hari ini kamu ke kebun sama abang dan adikmu
cari kayu bakar, lihat tuh kayu bakar kita udah mulai berkurang. Kalau tidak
ada kayu bakar maka kalian tidak bisa makan!!” kata Ibu tiriku dengan suara
yang keras. “tapi bu, adikku masih kecil mana mungkin kami mengajaknya ke kebun
mencari kayu bakar bu”. Kataku kepada Ibu tiriku. “bodoh amat, intinya hari ini
harus ada kayu bakar” kata Ibu tiriku. Akhinya aku minta abangku untuk tetap di
rumah sama adikku. Dan aku ke kebun mencari kayu bakar. Setelah pulang, aku
menatap ayahku yang sedang duduk bersama ibu tiriku di teras rumah. Namun
ayahku tak memperlihatkan senyumnya seperti dahulu, malah mukanya terlihat
sangat membenciku. Aku gak tau dimana salahku hingga Ayahku berubah sperti ini.
Satu
tahun kemudian, aku dan kedua saudaraku
hidup dengan Ibu tiri dan Ayah yang tidak memberikan cinta dan kasih sayangnya
lagi. Hingga akhirnya aku dan kedua saudaraku dilantarkan oleh Ayah dan tidak
memperdulikanku lagi. Adikku Lela diasuh oleh seorang wanita yang tidak aku
kenal. Dan abangku pun pergi merantau ke luar negeri dan aku tak tau di Negara
mana ia pergi mencari kehidupan. Hanya aku yang masih di kampung. Tidur di rumah
tante dan makan disana. Ayahku tidak memperdulikanku sama sekali. Ia hidup
bahagia bersama Istri barunya dan aku dilantarkan olehnya. Hingga nenekku datang menjemputku dari kampung sebelah dan ia
mengasuhku. Setelah beberapa bulan aku diasuh oleh nenek, ku dengar kabar bahwa
Ayahku meninggalkan Ibu tiriku dan menikahi wanita yang lain lagi. Namun, tidak
lama setelah mereka menikah Ayahku jatuh sakit. Punggungnya bengkak, dan
perutnya bernanah, bahkan suatu hari ia pernah mengeluarkan nanah 1 liter campur darah busuk. Kadang ia
berteriak di tengah malam karena saking sakitnya yang ia derita. Satu minggu
kemudian Ayahku meninggal dengan keadaan yang sangat mengerikan. Kulitnya
berubah hitam pekat, tulangnya menjadi lembek dan badannya sangat ringan. Tetesan
air mataku berjatuhan saat menatap wajah Ayahku yang terakhir kalinya. Dan
hanya do’a yang ku bisa panjatkan kepada sang Ilahi untuk Ayahku yang pergi
untuk selama-lamanya.
Selamat
jalan Ayah…semoga Allah mempertemukan kita di surganya nanti, aminnn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar