Putih mulus, cantik, tegas, berhijab,
soleha dan pintar memasak. Itulah gelar
yang istimewa yang dimiliki oleh seorang wanita di sebuah desa Somba Palioi
kabupate Bulukumba Sulawesi Selatan. Wanita yang merupakan anak ke tiga dari
pasangan suami istri H. Sulle dan Sabo. Wanita itu lahir di sebuah Desa yang
sangat terpencil. Rumah panggung sebagai rumah adat di desa itu yang setiap
malam hanya disinari denga cahaya lampu pelita. Yang terbuat dari kaleng susu
bendera yang terisi dengan minyak tanah. Itulah desa Somba Palioi tempat wanita
itu di lahirkan. Ia lahir pada tanggal 7
desember 1988. Sebuah tahun yang saat
itu masih sangat asing mendengar barang-barang elektronik. Mulai dari
handphone, laptop dan lain sebagainya. Wanita itu diberi nama “Nurmi”. Sebuah
nama yang sangat istmewa oleh Ayah untuknya. Apa ya artinya Nurmi?. Entahlah,
Ayahnya sendiri tidak tahu apa artinya Nurmi. Bisa dimaklumi seorang Ayah yang
memberi nama kepada anak-anaknya tapi artinya tidak ia ketahui. Ayah Nurmi
tidak pernah berpendidikan sama sekali. Jadi, mungkin bisa dimaklumi kalau nama
saja terasa sulit untuk memberi nama terbaik untuk anak-anaknya. Apalagi Nurmi,
seorang wanita yang banyak diperebutkan oleh para remaja ganteng di Desanya.
Masa kecil Nurmi, Ia jalani dengan
penuh kebahagiaan bersama keluarganya. Mulai dari Ayah, Bunda, dan
kakak-kakaknya. Meskipun Nurmi berasal
dari keluarga yang sangat sederhana, Ia
tetap mencitai Ayah dan Bundanya yang telah merawatnya dengan penuh kelembutan
dan kasih sayang yang tiada taranya. Nurmi tidak memandang dari segi kekayaan
orang tuanya tapi Nurmi memandang orang tuanya dari segi kasih sayang dan cinta
yang sangat mendalam untuknya. Detik demi detik, hari demi hari, bulan demi
bulan bahkan tahun demi tahun. Nurmi memasuki usia 5 tahun. Biasanya, diusia 5
tahun, anak-anak yang menginjak umur itu, mereka menempuh pendidikan taman
kanak-kanak (TK) atau pendidikan anak usia dini (PAUD). Tapi itu tiak terjadi
dalam kehidupan Nurmi diumur itu. Diumur 5 tahun, Nurmi tidak mengenyam pendidikan
TK maupun PAUD. Dikarenakan pada zaman
itu tidak ada sekolah TK atau PAUD di
Desanya. Sehingga pada umur itu, Nurmi membantu Bunda tercinta. Salah satunya
adalah menjaga adiknya yaitu Ariel. Kadang juga Nurmi membantu Bundanya memanen
singkong di kebun. Setiap hari Ibunya berangkat pagi dan pulang sore.
Pekerjaannya adalah memanen singkong yang kemudian Ia jual dan diolah menjadi
kapur. Kapur fungsinya adalah sebagai
alat tulis di sekolah yang ada di Desa Somba Palioi. Zaman itu, guru-guru di
sekolah hanya menggunakan kapur sebagai alat tulis di papan tulis. Karena belum
dikenal yang namanya spidol seperti saat ini. Pada saat Nurmi berusia 6 tahun,
barulah ia menginjakkan kakinya di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Desanya. Nurmi
tidak ingin nasibnya sama seperti kakak
tertuanya (Colleng) yang hanya berpendidikan sampai kelas 5 SD. Nurmi ingin
melanjutkan pendidikannya sampai di bangku kuliah. Ia ingin merubah dari
kesederhanaan orang tuanya dengan ilmu yang ia peroleh. Di SD itulah Nurmi
mulai belajar dengan penuh semangat. Mulai mengenal huruh A sampai Z. Dan
berhitung 1 sampai 10. SD itu 90% siswa dan siswinya adalah pelajar yang nakal
dan sering mencela anak-anak yang miskin. Nurmi adalah salah satu siswi SD yang
sering dihina dan dicela oleh teman-temannya dan kakak-kakak kelas di sekolah
karena kesederhanaannya. Hampir setiap
hari Nurmi menangis karena tidak kuat untuk menahan sakit hati karena ledekan
dan ejekan dari teman-temannya. Tapi ia tidak pernah mengadu kepada orang
tuanya. Setiap Nurmi pulang sekolah, ia selalu terlihat bahagia dan tersenyum
manis dihadapan Ayah dan Bundanya. Nurmi
yakin bahwa ia bisa melewati semua ini tanpa harus mengadu kepada orang tuanya.
Nurmi memang hanya seorang perempuan, tetapi Nurmi selalu teguh dengan
pendiriannya. Untuk tetap bersekolah dan
menghadapi segala rintangan. Nurmi tidak ingin menjadi anak perempuan manja
seperti teman-temannya yang lain. Karena ia menyadari bahwa ketika ia manja
akan menambah beban kepada Ayah dan Bundanya. Nurmi juga sangat jarang membawa
uang jajan ke sekolah. Karena Ayahnya hanyalah seorang petani singkong begitu
pun dengan Bundanya. Sehingga ia hanya
membawa buah jambu air ke sekolah untuk mengisi
perutnya ketika sedang kelaparan. Sepulang sekolah, ia tetap membantu
Bundanya bekerja memanen singkong dan menjaga adik kecilnya serta memasak.
Nurmi ingin sekali ketika dewasa nanti
menjadi istri yang bisa memasak untuk suami dan anak-anaknya. Lelah dan letih.
Itulah yang sering dirasakan oleh Nurmi
disetiap saat.
Seiring dengan waktu yang terus
berputar dan mengitari hidup Nurmi. Nurmi duduk di bangku kelas 5 SD Pada umur 10 tahun. Diumur 10
tahun, selain belajar di sekolah ia juga belajar membaca Al-Qur’an. Ia belajar
bersama teman-teman sebayanya setiap
siang dan sore. Nurmi belajar mengaji dengan seorang guru yang bernama Puang
Sia. Puang adalah gelar nama di desanya sebagai orang yang terhormat sehingga
dipanggil Puang. Jadi, setipa Nurmi memanggil gurunya ia tidak memanggilnya
dengan sebutan ibu Guru tapi Puang Sia. Puang Sia adalah seorang wanita yang
belum bersuami. Tapi umurnya memasuki 28 tahun. Puang Sia berasal dari Desa
Borong Rappoa kabupaten Bulukumba berjarak jauh dari Desa Nurmi. Di Desa Puang
Sia sendiri, ia tidak punya pekerjaan apa pun alias menganggur dan tidak punya
pacar yang bisa menemani dan menghiburnya ketika ia sendiri dan galau. Puang
Sia punya bakat tilawah Al-Qur’an. Dan Puang Sia ingin mengamalkan ilmu dan
bakatnya itu di Desa Nurmi. Puang Sia membangun Rumah panggung sendiri yang disekitarnya berdiri kokoh pohon
cengkeh, cokelat, mangga dan lainnya. Rumah puang Sia berjarak 500 meter dari
jalan raya Desa Somba Palioi. Puang Sia tidak mempunyai siapa-siapa di Desa
itu, ia hanya mempunyai murid-murid yang senang membantunya mengangkut air dari
sumur ke rumahnya yang berjarak 1 kilo meter dari rumah panggug Puang Sia.
Murid yang paling Puang Sia senangi adalah Nurmi. Alasan Puang Sia senang
kepada Nurmi adalah karena Nurmi terkenal di kampungnya sebagai wanita yang
rajin, cantik dan pintar pula memasak. Tiga hal itulah yang membuat
Puang Sia senag kepada Nurmi. Semenjak Nurmi menjadi murid kesayangan Puang
Sia, Nurmi jarang sekali tidur di rumahnya sendiri. Nurmi lebih memilih tidur
di rumah Puang Sia. Setiap malam Nurmi diajarkan oleh Puang Sia membaca
Al-Qur’an. Dan Nurmi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bisa membaca
Al-Qur’an dengan lancar. Hanya dalam waktu 2 bulan Nurmi sudah mahir membaca
Al-Qur’an. Di Desa Nurmi, sangat jarang dan bahkan tidak ada anak yang
seumurannya bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar seperti Nurmi. Karena
kelancaran Nurmi membaca Al-Qur’an, Puang Sia pun berusaha keras untuk
mengajari Nurmi membaca Al-Qur’an nada yang tinggi yang biasa disebut “Mujawwaz”. Secara bertahap, Nurmi belajar mujawwaz dengan Puang
Sia. Dan ternyata, Nurmi mempunyai suara
yang sangat merdu dan mengalahkan suara Puang Sia. Puang Sia merasa kaget saat
mendengar suara Nurmi yang merdu. Burung seakan berkicau riang mendengar suara
Nurmi yang merdu dalam membaca Al-Qur’an. Dengan waktu yang
singkat, orang-orang di Desa mulai mengetahui tentang Nurmi yang
mempunyai suara yang merdu dalam membaca Al-Qur’an. Seorang gadis kecil yang
berusia 10 tahun bisa membawa nama baiknya di kampung begitu pun dengan nama baik
orang Tuanya. Bulan Ramadhan pun tiba. Nurmi diberi kepercayaan oleh
masyarakat di Desanya untuk membaca
Al-Qur’an di masjid Syuhada setelah melaksanakan shalat isya sambil menunggu
shalat tarawih. Dengan senang hati, Nurmi melaksanakannnya dengan penuh
kebanggaan dalam hatinya. Saat pertama kali ia tampil, hampir seluruh jama’ah
shalat tarawih di masjid itu merasa
tenang yang
tidak pernah mereka rasakan
sebelumnya. Bahkan para ibu-ibu mengeluarkan butiran-butiran air mata. Merasa bahagia karena ada anak
kecil yang bisa membaca Al-Qur’an secara Mujawwaz. Bunda Nurmi pun merasa
sangat bangga dan sempat menjatuhkan
butiran-butiran air mata bahagia. Dan Puang Sia sebagai Guru mengaji Nurmi juga
merasa bangga karena ia telah berhasil membimbing muridnya membaca Al-Qur’an
dengan baik.
Bukan hanya jama’ah shalat tarawih
saja yang merasa kagum dengan Nurmi, anak-anak muda pun terhenti melakukan
kegiatan mereka addomeng (bahasa konjo) di sebuah pos yang ada di Desa tersebut. Sesekali
mereka bertanya-tanya kepada teman mereka sendiri di pos itu dengan bahasa ciri
khas mereka di Desa. “siapa mo suara itu dende bagus sekali payya”. Kata Hamzah
salah satu remaja di desa tersebut. Dengan rasa kebingungan Mora’ pun berkata
“tidak tauka juga bela, siapa itu di”. Mereka penasaran entah suara siapakah
yang sangat merdu itu. Akhirnya mereka
mengetahui bahwa yang bersuara merdu itu adalah Nurmi. Seorang gadis kecil yang
selama ini mereka kenal seorang gadis
yang rajin dan cantik pula. Dalam hati Hamzah mulai ada rasa yang aneh. Entah
apa, dia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. Tidak mungkin ia suka dengan
gadis itu yang masih berumuran 10 tahun tapi perilakunya bukan lagi anak-anak.
Malah Nurmi dengan umur 10 tahun sudah mulai berpikir dewasa karena
keinginannya yang sejak kecil ingin menjadi wanita terbaik suatu saat nanti.
Hamzah mulai terpanah dengan anak panah cinta yang kian membara. Ia bingung
bagaimana caranya ia bisa mengungkapkan rasa sukanya kepada Nurmi. Dengan rasa
yang kian mendesah dalam lubuk hati Hamzah. Ia berani mengirimkan surat kepada
Nurmi. Zaman itu memang belum ada HP yang canggih seperti sekarang sehingga
bagi orang yang ingin mengungkapkan rasa cinta dan rasa suka kepada seseorang,
mereka mengungkapkan melalui dengan surat yang biasa disebut “surat cinta”.
Nurmi kebingungan tiba-tiba ada surat
dari Hamzah. Pada hal selama ini ia tidak kenal dekat dengan Hamzah. Dengan
perlahan Nurmi mulai membuka isi surat itu. Ternyata isi surat itu adalah
ungkapan rasa suka dan jatuh cinta Hamzah kepada Nurmi. Nurmi terdiam membisu
setelah membaca surat itu. Ia takut ketika hal ini diketahui oleh orang tuanya.
Karena kebiasaan di kampungnya, sering ada yang terjadi seperti dengannya
dinikah paksa oleh orang tuanya dan Nurmi tidak ingin jika hal ini harus terjadi
dalam hidupnya. Ia mulai menyusun kata
yang bijak dan sopan untuk membalas surat Hamzah yang isinya bahwa Nurmi tidak bisa
menerima cinta Hamzah. Dikarenakan usianya yang masih sangat muda. Hamzah
seakan dirinya telah ditaburi oleh bintang-bintang cinta yang jatuh dari langit
saat ia menerima surat balasan dari Nurmi. Hamzah mengira bahwa Nurmi pasti
menerima cintanya. Akan tetapi, ketika Hamzah membuka isi surat itu ia
merasa jantungnya telah tergunting oleh
cinta yang tidak terbalas saat membaca isi surat yang bertuliskan “maaf, saya tidak bisa menerima ini”.
Namun, Hamzah tidak menyerah. Ia tetap memupuk cinta dalam hatinya dan menunggu
sampai Nurmi siap menerima Cintanya. Nurmi berusaha melupakan kejadian yang ia
anggap aneh yang telah terjadi padanya. Nurmi tetap fokus dalam mengasa
bakatnya mujawwaz Al-Qur’an. Sehingga setiap Nurmi silaturahmi ke rumah
tetangganya, ia selalu dipuji-puji karena suara dan kemahiraannya dalam membaca
Al-Qur’an.
Diusia 12 tahun, Nurmi duduk di bangku
kelas 6 SD. Bakatnya pun bertambah selain membaca Al-Qur’an. Nurmi ditawari
oleh gurunya di sekolah yang biasa dipanggil Ibu Rahmah. Untuk mengikuti lomba
Qasidah di Desa Borong Rappoa dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI.
Dengan senang hati, Nurmi menerima tawaran itu dan diberi amanah sebagai
vokalis dalam perlombaan Qasidah. Setiap hari Nurmi berlatih bersama
temaan-temannya di kelas ketika jam istirahat. Ketika H-7 lomba akan dilaksanakan,
Ibu Rahmah mengumumkan persiapan dan perlengkapan apa saja yang harus dipenuhi.
Nurmi dan teman-temannya mendengar penjelasan Ibu Rahmah dengan seksama. Namun,
ditengah-tengah penjelasa Ibu Rahmah, Nurmi mengangkat tangan dan protes. Bahwa
ia tidak bisa mengikuti lomba jika harus membayar seragam sebesar Rp. 50.000.
Nurmi tidak tahu harus bagaimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Sedangkan orang tuanya uang sebanyak itu merasa berat untuk mereka dapatkan.
Alasan kedua Nurmi tidak mau mengikuti lomba adalah ia tidak ingin jika harus
di make up. Maklum ia anak kampung yang mukanya tidak pernah tersentuh oleh
tebalan bedak. Tapi, Ibu Rahmah tetap memaksa Nurmi untuk tetap ikut dalam
perlombaan ini karena suaranya yang merdu.Tapi, Nurmi tetap tidak ingin
mengikuti lomba Qasidah itu. Akhirnya Ibu Rahmah pun mengalah dan menerima
keputusan Nurmi. Dan Nurmi digantikan oleh teman sekelasnya yang suaranya tidak
kalah merdu dengan suara Nurmi. Ia biasa dipanggil Risna oleh Nurmi. Risna
adalah anak yang manis, cantik dan baik pula. Nurmi merasa senang karena ada
yang bisa menggantikannya. Dan pada hari H lomba Qasidah, teman-teman Nurmi
gagal meraih juara. Tapi mereka tetap semangat untuk mengikuti latihan Qasidah
di sekolah.
Sebagai siswa kelas 6 SD, Nurmi mulai
membuat plan bagaiman ia ke depannya setelah Lulus SD. Ia ingin melanjutkan
pendidikannya ke perguruan tinggi nanti agar nasibnya bisa lebih baik. Dan hal
yang jelek tidak terjadi padanya yaitu
nikah paksa. Nurmi menyusun plannya
dengan cermat. Dan salah satu plan yang ia tulis adalah ia ingin sekolah di
Madrasah Tsanawiyah(MTs). Tiba-tiba kakak kelasnya yang sekolah di MTs YPP
Bulukumba menghampiri Nurmi. Wanita itu ingin melihat apa sebenarnya yang
ditulis oleh Nurmi. “Nurmi, apa itu nu tulis?”. Tanya wanita itu kepada Nurmi
dengan bahasa indonesia campur konjo. “anu he, bikinka plan bela. Karena mauka
lanjut sekolah di MTs”. Jawab Nurmi. “bolehji ku pinjam kah?”. Lanjut wanita
itu. “ia bolehji”. Kata Nurmi. Setelah wanita itu membaca plan Nurmi, ia
menawari agar Nurmi ikut saja dengannya sekolah di MTs YPP. Kebetulan wanita
itu juga nasibnya hampir sama dengan Nurmi. Ia berasal dari keluarga yang
kurang mampu. Rumahnya adalah rumah panggung kecil yang atapnya terbuat dari
daun Rumbia. Dengan senang hati, Nurmi menerima tawaran wanita itu untuk ikut
sekolah di MTs YPP di Kota Bulukumba. Wanita itu menjelaskan kepada Nurmi mulai
dari tempat tinggalnya dan sekolahnya. Nurmi merasa senang karena ketika
sekolah nanti ia akan tinggal di panti asuhan dan bebas biaya dari orang
tuanya. Ia bahagia akan sekolah di kota dan akan meninggalkan desanya. Saat
malam tiba, keluarga Nurmi berkumpul di ruang tamu yang diterangi dengan cahaya
lampu pelita. Nurmi pun mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah di
MTs YPP Kota Bulukumba dan akan tinggal di Panti Asuhan. Ayah dan Bunda Nurmi
tidak berpikir panjang lagi. Mereka yakin Nurmi pasti bisa menjaga diri karena
ia akan tinggal di panti asuhan. Nurmi pun langsung bergegas ke kamarnya dengan
penuh rasa gembira. Ia mulai merapihkan
pakain-pakaiannya untuk ia bawa.
Hari keberangkatan ke Panti Asuhan pun
tiba. Bunda Nurmi hanya mebekali dengan
uang Rp.15.000. Nurmi sangat bangga bisa memegang uang sebanyak itu. Selama ini
ia jarang uang sebesar itu ada di tangannya. Biasanya hanya uang Rp.500 dan Rp.1.000 yang ia pegang. Itu pun hanya
seminggu sekali. Dengan uang Rp.15.000, Nurmi
bisa menghemat uang itu. Ia akan menggunakan uang itu jika memang ada
keperluan yang sangat penting. Nurmi berangkat ke panti asuhan tanpa diantar
oleh kedua orang tuanya. Ia hanya bersama dengan kakak kelasnya yang juga tinggal di panti asuhan. Nurmi
berangkat dengan angkot milik Karaeng Umar. Angkot itu adalah satu-satunya
angkot yang ada di Desa Nurmi. Jadi, ketika ada orang yang ingin ke bulukumba,
mereka harus sudah siap dari jam 06.30 pagi. Karena, jika meraka ketinggalan
angkot, wassalam mereka akan gagal ke kota Bulukumba. Setelah Nurmi tiba di
panti asuhan, Nurmi disambut oleh para anak-anak panti yang lebih duluan dari
Nurmi. Ada yang masih berumur 3 tahun dan bahkan ada yang sudah duduk di kelas 3
SMA. Semuanya menyambut kedatangan Nurmi. Nurmi menganggap mereka adalah
keluarga ke dua bagi Nurmi yang akan tinggal bersamanya sampai waktu yang tidak
ia ketahui. Nurmi sangat pintar bergaul di lingkungan barunya. Sehingga dalam
kurung waktu 2 minggu, Nurmi sudah dikenal oleh seluruh pembina panti asuhan.
Selain itu, ia juga mendapat teman baik yang selalu hadir didekatnya dalam
keadaan susah maupun senang. Mereka adalah Linda, Aspiani, Minarti dan Juarni.
Juarni adalah kakak kelas Nurmi yang sangat menyayanginya. Sedangkan Linda,
Aspiani dan Minarti adalah teman sekelas Nurmi di MTs YPP Bulukumba. Setiap
hari mereka berangkat ke sekolah bareng dengan jalan kaki yang berjarak
1,5 kilo meter dari Panti Asuhan. Namun,
Nurmi dan teman-temannya tidak merasa lelah berjalan kaki dan panas-panasan
dibawa terik sinar matahari. Karena selama di perjalanan, Nurmi dan
teman-temannya bercanda tawa agar tidak merasakan lelah dan capek. MTs YPP
Bulukumba adalah sebuah sekolah yang tidak jauh berbeda dengan sekolah SD Nurmi.
Hampir setiap hari Nurmi diledek oleh
anak-anak kota yang sekolah di MTs YPP. Mereka meledek Nurmi karena Nurmi
adalah anak kampung yang sekolah di Kota. Namun, Nurmi tetap menerima ledekan
itu dengan lapang dada. Meski dalam hatinya telah marah besar dan ingin
menerkam orang-orang yang meledeknya. Tapi, beberapa hari kemudian, ledekan itu
masih saja hadir dalam kehidupan Nurmi di MTs YPP. Dengan rasa emosi yang selama
ini Nurmi simpan dalam hatinya. Ia mengeluarkan emosi itu dan melawan
anak-anak yang telah meledeknya. Wajahnya merah seperti orang yang kepedasan
makan sambel, matanya melotot dan kekuatan fisiknya ia keluarkan. Anak-anak
yang telah meledeknya lari karena merasa takut dengan tingkah Nurmi yang
menyeramkan seperti harimau. Suatu hari, kakak kelas Nurmi meledek Nurmi.
“haha... dasar anak kampung masuk kota” ledek kakak kelas Nurmi. Nurmi merasa
sakit marah saat itu karena masih ada saja orang yang berani meledeknya.
Hatinya seakan tercincang-cincang oleh kata-kata itu. Dengan wajah yang
terlihat merah, Nurmi pun membalas dengan kata-kata dalam bahasa kampungnya
“kenapaikah, susahko. Mau-mauku ituah, bukan tonji urusannu ngase, bapakku
memang petani tapi bisa tonja makan, dari pada kau ngase bapaknu tukang becak
hahaha...”. begitulah balasan kata-kata Nurmi terhadap kakak-kakak kelasnya.
Sepulang sekolah, kakak kelas Nurmi menunggu di pinggir jalan. Mereka berniat
untuk mencelakakan Nurmi dan teman-temannya. Dari jauh Nurmi terlihat berjalan
kaki dengan teman-temannya untuk pulang ke Panti Asuhan. “wooiii... anak
kampung, hahaha.. jalan kaki”. Teriak kakak kelas Nurmi yang telah lama
menunggunya di jalan. Nurmi mendengar jelas teriakan itu. Dengan rasa berani,
ia mendekati kakak kelasnya di jalan. “apa nu bilang, anak kampung”. Saat itu Nurmi
tidak membalasnya dengan kata-kata lagi. Tapi ia membalasnya dengan tendangan
kaki gaya harimau membuka jalan. Tapi sayang seribu sayang, tendangannya gagal
mengenai perut kakak kelasnya itu dikarenakan sepatunya terlempar jauh dan
jatuh di tempat duduk becak. “hati-hati maki andi kalau marahki, alele...”.
Kata tukang becak itu. Kakak kelas Nurmi tidak berani menertawakannya karena
meraka merasa takut dengan tendangan Nurmi harimau membuka jalan. Mereka pergi
dengan wajah ketakutan. Nurmi pun sangat malu kepada tukang becak dan
orang-orang disekitanya. Setelah kejadian itu, tidak ada seorang pun yang
berani meledek Nurmi lagi di sekolahnya.
Di panti asuhan, Nurmi termasuk anak
asuh tauladan dan disayang oleh Pak Baba’. Pak Baba’ adalah salah satu pembina
di panti asuhan. Hampir disetiap waktu kosong, Nurmi dipanggil oleh Pak Baba’
ke ruangannya untuk berbagi cerita. Kadang Nurmi diminta oleh Pak Baba’ untuk
menceritakan keadaan keluarganya. Denga senang hati, Nurmi menjelaskannya
dengan pelan-pelan dan kata-kata yang tersusun rapih.
Tiga tahun lamanya Nurmi tinggal di Panti Asuhan dan
bersekolah di MTs YPP Bulukumba. Sangat banyak pengalaman terindah yang telah
ia dapatkan. Mulai dari kedisplinan waktu sampai prestasi ia raih selama di
panti asuhan. Diantaranya adalah juara 2 dalam perlombaan Qasidah tingkat Kota
Bulukumba. Dan juga ia selalu masuk dalam 3 besar disetiap ujian semester usai.
Hal itulah yang membuat Nurmi menjadi anak asuh tauladan dan disayang oleh Pak
Baba’. Diujung tahun selama di panti asuhan alias tahun ke tiga, Nurmi mulai
menyusun kembali plannya setelah ia lulus MTs. Dimana ia harus melanjutkan SMA
dan harus tinggal dimana? Itulah yang ia masukkan dalam plannya. Salah satu
plan yang ia tulis adalah Nurmi ingin lanjut sekolah tingkat SMA disebuah
pesantren untuk memperdalam ilmu agama dan ingin menjadi wanita yang soleha.
Kebetulan adiknya (Ariel) sekolah di sebuah pesantren Al-Murahamah Banyorang di
kabupaten Bantaeng sulawesi selatan. Saai itu Ariel duduk di bangku kelas 2
MTs. Nurmi berniat untuk melanjutkan SMA Di pesantren agar tinggal bersama
adiknya. Ia memperbaiki niatnya lagi dan menyusun kata terbaik untuk ia
sampaikan kepada Pak Baba’. Nurmi yakin dan sudah tahu betul Pak Baba’ pasti
tidak mengizinkannya untuk pindah sekolah dan keluar dari panti asuhan. Dengan
jantung yang deg-degan, Nurmi menuju ruang Pak Baba’ untuk menyampaikan niatnya
pindah sekolah dan keluar dari Panti Asuhan. “tok..tok.. Assalamu ‘Alaikum”.
Salam Nurmi ketika dipintu ruang Pak Baba’. “wa’alaikum salam, silahkan masuk”.
Kata pak Baba’. Nurmi masuk ke ruang Pak Baba’
dengan wajah yang terlihat aneh dan berbeda dari biasanya. “eh.. Nurmi,
Silahkan duduk nak”. Pak Baba’ menyilahkan Nurmi untuk duduk di kursi dekat
meja kerjanya. Nurmi langsung duduk di kursi itu dengan wajah murung tanpa
terlihat senyum manisnya seperti biasanya di depan Pak Baba’. “kenapako Nurmi,
ada masalah?”. Tanya Pak Baba’ kepada Nurmi. Nurmi terdiam sejenak mencoba
untuk memperbaiki perasannya dan menyusun kata-katanya kembali yang buyar
karena rasa keraguan yang terjadi padanya. “anu pak, mauka pindah sekolah dan
mau juga ka keluar di panti ini”. Kata Nurmi kepada Pak Babab’. “apa Nurmi,
mauko keluar dari sini?, kenapaikah ada masalahmu?”. Tanya pak Baba’ kepada Nurmi. “Tidakji pak, tidak
adaji apa-apa, maukuji keluar karena mauka sekolah di pesantren”. Lanjut Nurmi.
Pak Baba’ terdiam membisu tanpa kata yang bisa ia ucapkan dari kedua bibirnya
ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak mungkin memaksa Nurmi untuk
tetap tinggal di Panti Asuhan sampai selesai SMA. Demi kebaikan Nurmi dan untuk
masa depannya. Dengan berat hati, Pak Baba’ menyetujui keinginan Nurmi. Air
mata pak Baba’ terlihat jatuh ke telapak tangannya karena akan kehilangan anak
asuh kesayangannya yang selama ini menemaninya berbagi cerita di ruangannya. Nurmi
pun terdiam entah bagaimana caranya agar Pak Baba’ tidak menangis atas
kepergiannya dari Panti Asuhan. Berat rasanya bagi Pak Baba’ untuk melepas
Nurmi sebagai anak asuh kesayangannya. Tapi apa boleh buat, semua ini demi masa
deapan Nurmi sendiri. Dengan berat hati
pak Baba’ menanggapi lagi “baiklah nak, bapak setuju dengan keputusan kamu,
keputusanmu sangat baik sekali, jarang sekali bapak dan bahkan tidak pernah
menemukan anak sepertimu yang mau melanjutkan sekolahnya di pesantren”. Kata
Pak Baba’. Nurmi meraih tangan Pak Baba’ untuk menyalaminya dan bergegas pergi
dari hadapan Pak Baba’. Nurmi pun menuju kamarnya dan langsung membuka pintu
kamarnya. Kebetulan teman-temannya Linda, Sumarti, Aspiani dan Juarni sedang
berkumpul di kamar Nurmi sambil berbagi cerita. Dengan langkah perlahan, Nurmi
masuk ke kamarnya sambil mengusap air mata yang masih kelihatan basa dipipinya.
“Nurmi, kamu kenapa? Kok nangis”. Tanya
Juarni kepada Nurmi. “tidak kok, saya ngga apa-apa”. Jawab Nurmi.
Teman-teman Nurmi yang lain terlihat cemas apa sebenarnya yang terjadi pada
Nurmi, baru kali ini mereka melihat Nurmi meneteskan air mata pada hal selama
ini Nurmi selalu terlihat ceria dan tertawa bahagia bersama teman-temannya di
panti maupun di sekolah. “teman-teman, saya ingin menyampaikan sesuatu kepada
kalian”. Kata Nurmi terhadap teman-temannya. “apa Nurmi, ada apa?”. Tanya salah
satu teman Nurmi di ruangan kamar kecil itu. Dengan berat hati Nurmi
menyampaikan kepada teman-temannya dengan kata yang terputus-putus “a..ak..aku
ma,,mau pindah sekolah dan ma...u keluar dari panti Asuhan ini”. “apa??.. mau pindah sekolah dan keluar dari panti
asuhan??”. Serentak teman-teman Nurmi mengeluarkan kata-kata itu dari mulut
mereka. Mereka kaget dengan niat Nurmi yang ingin meninggalkan mereka di panti
asuhan. “iya teman-teman saya akan melanjutkan sekolah di MA Al-Murahamah
Banyorang”. Lanjut Nurmi. Seketika itu teman-teman Nurmi memeluknya dengan
kesedihan yang sangat mendalam dan disertai dengan tangisan. Berat sekali bagi
Nurmi untuk meninggalkan teman-temannya di panti asuhan yang selama 3 tahun
menemaninya tertawa gembira dan selalu hadir disetiap ada masalah yang menimpah
Nurmi. Juarni yang tadinya mampu mengeluarkan kata dan tertawa dengan suara
yang keras, kini hanya bisa menangis bersedu-sedu dan tak mampu lagi
mengeluarkan kata terindah untuk Nurmi yang akan pergi meninggalkannya.
Mulutnya terkunci, air matanya mengalir deras dipipinya dan menari-nari di atas
kerudungnya. Juarni pun merasa berat
bagai punggungnya terdapat satu ton batu karang yang ia angkut. Kebersamaan
selama 3 tahun lamanya semunya akan tinggal menjadi kenangan terindah dalam
hidup Juarni. Tapi Juarni yakin hanya fisik yang akan memisahkan mereka. Canda
tawa dan kegembiraan akan selalu hadir disetiap sudut kamar Juarni yang akan
membuatnya tersenyum kembali meskipun semuanya tidak seindah yang dulu.
Tibalah hari dimana Nurmi harus pergi
meninggalkan teman-temannya dan panti asuhan tercinta. Nurmi membereskan
seluruh barang-barangnya. Pakainnya ia masukkan ke dalam tas dan buku-bukunya
ia masukkan ke dalam kardus sebagai oleh-oleh buat adik kesayangannya yang
masih duduk di bangku SD. Saat Nurmi keluar dari kamar mengangkat barang-barang
dan dibantu oleh Juarni, Pak Baba’ datang menghampirinya dan berpesan agar
Nurmi nantinya menjadi seorang murid yang berprestasi dan bahkan menjadi wanita
soleha buat suaminya nanti. Setelah mendengar pesan Pak Baba’, Nurmi berjanji
akan memenuhi semua pesan Pak Baba’ pembina yang sangat menyayanginya. Nurmi
pun pamit kepada Pak Baba’ dan teman-temannya yang telah lama menunggu Nurmi di
depan pintu gerbang panti asuhan. Air mata kesedihan masih saja hadir menambah
kesedihan atas kepergian Nurmi pada hari itu. Masih terasa berat buat Nurmi untuk
mengangkat kakinya pergi meninggalkan teman-teman tercinta dan panti asuhan.
Tapi Nurmi yakin dengan niat dan keinginannya, Nurmi akan menemukan lagi
teman-teman yang bisa menyayanginya meski rasa kasih sayang itu tidak sama
seperti ia dapatkan selama di panti asuhan. Angkot berwarna hitam dari terminal
pasar sentral Bulukumba datang seakan menjemput Nurmi. Nurmi pun naik ke angkot
hitam itu dengan air mata yang masih basa dipipinya. Disertai dengan kesedihan
yang sangat mendalam yang tak mampu ia kuburkan ke dalam tanah. Semakin lama
semakin terlihat jauh panti asuhan dari
pandangan Nurmi, dan terlihat hanyalah lambain tangan teman-temannya atas
kepergian Nurmi. Nurmi berusaha menenangkan perasaannya dan menghapus
kesedihannya di atas angkot hitam itu. Tapi ia tak kuasa untuk melakukannya.
Dua bulan setelah Nurmi keluar dari panti asuhan, Nurmi
berangkat ke Pondok Pesantren Al-Murahamah Banyorang di kabupaten bantaeng.
Dipesantren itulah Nurmi punya niat untuk memperdalam ilmu agama dan ingin
menjadi wanita yang soleha. Nurmi sangat senang dan tidak merasa asing lagi
tinggal di tempat yang sederhana. Asrama Nurmi di pesantren malah lebih
sederhana dibandingkan sewaktu ia masih di panti asuhan. Asrama santri putri
yang terbuat dari kayu yang beratap dengan seng yang sudah berkarat. Namun,
Nurmi tetap betah tinggal di pesantren itu. Nurmi juga merasa bahagia karena
adiknya juga sekolah di pesantren itu. Dan banyak keluarganya yang juga sekolah
di pesantren tersebut. Sebagai santri baru, Nurmi belum banyak tahu bagaimana
aturan di pesantren. Secara bertahap, ia menjalani kehidupannya di pesantren.
Ketika Nurmi duduk di bangku kelas 2 SMA, suatu hari ia pulang kampung karena
kebetulan Nurmi baru saja mengikuti ujian akhir semester 2 di kelas 1 SMA dan
diberi waktu libur selama 2 minggu. Nurmi berlibur ke rumah tante Aneng di Desa
mattirowalie. Desa itu adalah desa tetangga Nurmi. Saat itu Nurmi tidak
mengetahi sama sekali bahwa ada seorang pemuda yang sering berkunjung ke Rumah
Tante Aneng setiap sore sampai malam. Pemuda itu biasa dipanggil Abba’. Pada
hal Nurmi sangat asing yang namanya cowok yang sering berkunjung ke rumah orang
tanpa tujuan yang jelas. Suatu hari,
Abba’ berkunjung ke rumah Tante
Aneng tanpa ia ketahui bahwa ada seorang gadis cantik yang liburan ke
rumah tante Aneng. Ketika Abba’ melihat
Nurmi pertama kali, ia merasa Nurmi adalah seorang bidadari yang jatuh dari
bintang di langit. Senyumannya yang manis dan wajahnya yang cantik jelita. Membuat
Abba’ di depannya ada seseorang bidadari. Abba’ punya niat untuk mendekati
Nurmi dan mencuri hatinya. Tapi Abba’ tau bahwa Nurmi adalah siswa SMA di
pesantren. Sehingga setiap ia melihat Nurmi ia mengelurakan kepolosan dan
kesopanannya hanya untuk mendapat perhatian penuh dari Nurmi. Nurmi sangat takut dan malu ketika ia
dipanggil oleh Abba’. Karena selama ini belum pernah ada seorang cowok yang
berani mendekati untuk mengajaknya ngobrol. Tapi karena Nurmi takut ia dianggap
sebagai orang sombong, dengan rasa ragu Nurmi mencoba memberanikan dirinya untuk
mengobrol dengan Abba’ di ruang tamu Tante Aneng. Saat Nurmi duduk dikursi
dekat Abba’, Abba’ tidak basa basi lagi seperti kaum muda sekarang ketika mau
mengungkapkan perasannya ia harus gombal terlebih dahulu. Tapi Abba’ tidak
melakukan hal itu kepada Nurmi. Secara langsung Abba’ mengungkapkan perasaannya
kepada Nurmi bahwa ia suka kepada Nurmi. Nurmi merasa kaget yang luar biasa
saat mendengar kata-kata Abba’ yang telah keluar dari mulutnya. Jantungnya
seakan berhenti berdetak, darahnya seakan berhenti mengalir, jantungnya seperti
telah copot oleh kata-kata Abba’. Nurmi memandang kosong ke arah tembok yang
tersusun dengan batu bata. ia terdiam sejenak, apa yang telah terjadi padanya
pada hari, jam, menit dan bahkan detik itu. Sejenak Nurmi mengingat Allah dan
memohon kepadanya agar diberi kekuatan hati menghadapi semua ini memohon diberi
petunjuk bagaimana agar ia bisa membalas kata-kata Abba’ dengan kata yang sopan
yang tidak membuat Abba’ kecewa. Hingga akhirnya Nurmi mampu mengeluarkan kata
“oh.. begitu ya”. Hanya kata itu yang bisa Nurmi ucapkan. Ia tak mampu
mengeluarkan sejuat kata kepada Abba’ karena telah jujur kepadanya. Abba’
terdiam dan merasa tidak puas dengan kata-kata Nurmi. Dengan rasa takut yang
menyelimuti Nurmi, ia langsung pamit dan bergegas ke arah dapur meninggalkan
Abba’ sendirian di ruang tamu. Nurmi berniat bahwa besok ia akan pulang ke
Desanya. Ia takut ada kesalah pahaman antara dirinya dengan Abba’.
Keesokan harinya, Nurmi pamit kepada
Tante Aneng. “tante, mauka pulang dulu ke rumahku karena na suruhka pulang
ajiku, ada bede yang mau ku kerja di rumahku”. Nurmi mengambil alasan palsu
kepada Tante Aneng, agar Tante Aneng tidak curiga kenapa Nurmi pulang secepat
itu pada hal janjinya akan berlibur di rumah Tante Aneng selama 5 hari 4 malam.
Tante Aneng pun percaya dengan alasan palsu Nurmi dan mengizinkannya untuk
kembali ke desanya. Disore hari, Abba’ datang dengan gaya yang tidak pernah
tante aneng lihat sebelumnya. “gammara’na bajunnu bela Abba’, eroko lampa
temae?”. Tanya Tante Aneng kepada Abba. “tidakji Tante aneng, maukuji ketemu
sama Nurmi jadi pake baju yang baguska”. Jawab Abba’ kepada Tante Aneng. “Apa
mauko ketemu sama Nurmi, pulangmi dari tadi pagiji na pulang”. Kata Tante Aneng
kepada Abba. Seketika itu Abba’ merasa dunia ini telah pergi meninggalkannya
karena Nurmi pergi tanpa pemberitahuan kepadanya. Dan Abba’ jujur kepada Tante
Aneng bahwa ia suka dan jatuh hati kepada Nurmi. Tante aneng sangat senang
karena Abba’ telah berani mengungkapkan perasannya kepada Nurmi secara langsung
tanpa surat menyurat lagi. Abba’ punya niat untuk menyusul ke Rumah Nurmi.
Tante Aneng setuju dengan nait Abba’ itu. Sehingga 2 hari kemudian, Tante Aneng
dan Abba’ menyusul ke rumah Nurmi dengan jalan kaki yang berjarak 5 kilo meter
dari rumah Nurmi. Demi perjuangn cinta Abba’ kepada Nurmi ia rela berjalan kaki
menyusul ke rumah Nurmi. Ditengah jalan, ia melewati pohon cengkeh, cokelat dan
melewati sungai besar yang menjadi perbatasan antara Desa somba palioi dengan
desa mattirowalie. 3 jam Abba’ dan Tante Aneng jalan kaki menulusuri hutan.
Mereka berdua pun sampai di rumah Nurmi. Tante Aneng masuk ke dalam rumah Nurmi
tanpa salam dan tanpa permisi kepada pemilik rumah. “eh.. Tante Aneng, sama
siapaki kesini? Kenapa tidak bilang-bilangki kalau mauki keseini?”. Tanya Nurmi
kepada Tante Aneng. “saya itu ke sini samaka Abba’, cowok yang suka sama kamu”.
Jawab tante Aneng kepada Nurmi. Nurmi memalingkan mukanya ke arah jendela
rumahnya yang tidak berkaca. Tatapannya kembali kosong. Nurmi merasa dirinya
bagaikan tikus yang dikejar oleh kucing. Cowok yang telah mengungkapkan
perasaannya ini kembali mengejarnya. Nurmi tidak tahu apa yang harus ia
lakukan. Nurmi juga merasa takut jika semua ini sampai diketahui oleh orang
tuanya. Dengan memaksa diri, Nurmi tetap berusaha tersenyum manis di depan
Abba’, cowok yang telah ia tolak cintanya secara diam-diam dalam hatinya. Nurmi
berpura-pura senang atas kedatangan Abba’ ke rumahnya. Abba’ tidak punya rasa
malu sedikit pun di rumah Nurmi. Sesekali ia terus mendekati Nurmi meski orang
tua Nurmi ada di ruang tamu. Abba’ tidak peduli dengan tanggapan orang tua
Nurmi. Setiap pagi Abba’ dan Nurmi ngobrol berdua di ruang tamu. Meskipun ibu
Nurmii ada di dapur sedang memasak. Abba’ tidak peduli akan hal itu, demi cintanya
kepada Nurmi. Sedangkan Nurmi sendiri merasa bingung entah bagaimana ia harus
menaru mukanya karena malu kepada Bundanya. Nurmi melakukan semua itu karena
tidak mau dikatakan orang sombong oleh Abba’. Seminggu lamanya Abba’ di rumah
Nurmi. Selama seminggu itu Abba’ sering membantu Ayah Nurmi untuk mencari ikan
di empang dengan niat untuk direstui hubungannya dengan Nurmi. Tepat pada hari
senin, Abba’ kembali ke rumahnya di Desa Mattirowalie. Dan tidak
tanggung-tanggung Abba’ berniat untuk melamar Nurmi.
Suatu hari, keluarga Abba’ datang ke
rumah Nurmi dengan maksud ingin melamar Nurmi. Sesajian songkolo dan ayam yang
dibawa oleh keluarga Abba’. Ditengah-tengah obrolan, nenek Abba’ Deng Sia
menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke rumah Nurmi yaitu untuk melamar
Nurmi gadis yang telah membuat Abba’ jatuh Cinta yang sangat amat mendalam.
Nurmi merasa dunia ini telah kiamat,
dirinya dilamar oleh seorang cowok yang telah ia tolak cintanya secara
diam-diam dalam hatinya. Selama ini Nurmi tidak pernah jujur kepada Abba’ kalau
dia tidak bisa menerima cinta Abba’. Sehingga Abba’ dengan berani mengajak
keluarganya untuk datang melamar Nurmi.
Nurmi terdiam membisu, apa yang telah terjadi? Mimpikah aku? Hatinya bagai tertusuk
jarum cinta kasasar, mulutnya terkinci rapat, ia terpaku di kursi, kebingungan
telah menguasai Nurmi. Ia bingung harus bagaimana ia menerima kenyataan ini.
Nurmi takut Ayah dan Ibunya menerima lamaran itu, dan Nurmi dinikahkan paksa
oleh Ayah dan Ibunya. Hal itulah yang membuat Nurmi semakin membuatnya takut.
Namun, Ayah Nurmi tidak berpikiran untuk menerima lamaran itu. Ia serahkan
kepada Nurmi yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Ayah Nurmi mengerti dengan
keadaannya saat itu, ia ingin meneruskan sekolahnya sampai selesai dijenjang S1.
Sehingga dalam lamaran ini, Ayahnya menyerahkakan semuanya kepada Nurmi.
Biarlah Nurmi yang mengeluarkan keputusan apakah ia menerima lamarn ini atau
tidak. Nurmi mulai menyusun kata-kata dari mana ia harus memulainya dengan kata
yang sopan. Dalam hatinya timbul untuk menolak lamaran ini. “jadi begini bu,
tanta dan semuanya. Maaf di tidak bisa ka’ ku rasa terima ini lamaran bela,
karena masih sekolah ka’. Kalau misalnya
mau disimpan-simpanka’ untuk Abba’ tidak mauja”. Itulah kata yang Nurmi
keluarkan dari mulutnya dengan hati
yang bergemetaran. Namun, keluarga Abba’ tidak kecewa dengan keputusan Nurmi
menolak lamaran ini. Karena mereka paham akan keinginan Nurmi yang ingin
meneruskan pendidikannya sampai ke perguruan tinggi. Sehingga mereka pulang
dengan tangan kosong. Lamaran ditolak
songkolo’nya pun sudah menjadi milik keluarga Nurmi di rumahnya. Setelah
Abba’ diceritakan oleh neneknya bahwa lamaran ditolak, ia merasa cintanya telah terkubur dengan
kekecewaan yang sangat mendalam. Air matanya mulai mengalir di pipinya. Wanita
yang selama ini ia cintai dengan hati yang paling dalam, menolak cintanya dan
tidak bisa menerima lamarannya. Seketika itu, Abba’ berperinsip bahwa ia tidak
akan menikah dengan waktu yang singkat. Ia ingin mencari wanita seperti Nurmi.
Dan mencoba untuk melupakan Nurmi yang telah menolak cintanya.
Nurmi kembali bersekolah di
pesantren. Ia jalani pendidikannya
dibangku kelas 2 SMA dengan penuh semangat dan telah melupakan lamaran. Setahun
setelah itu, Nurmi duduk di bangku kelas 3 SMA. Ia bertemu dengan seorang
pemuda tampan dari desa Borong Ganjeng kabupaten Bulukumba. Pemuda itu biasa
dipanggil Lucky. Lucky adalah seorang pemuda tampan, banyak wanita yang jatuh
hati kepadanya karena ketampanannya. Saat pandangan pertama, ada rasa yang aneh
dalam hati Nurmi dan Lucky. Mereka berdua tidak mengerti apa sebenarnya yang
terjadi pada dirinya. Lucky menebak bahwa ini adalah rasa jatuh cinta. Begitu
pula dengan Nurmi. Sesekali mereka mencuri-curi pandangan. Lucky merasa tidak
bisa lagi menahan rasa yang timbul dalam hatinya. Sehingga ia berani
mengungkapkan rasa cintanya kepada Nurmi. Dengan rasa malu dan bahagia, Nurmi
menerima cinta lucky dihadapannya langsung. Bukan lagi surat menyurat. Kedua
insan ini saling mencintai. Lucky adalah pemuda yang suka mabuk-mabukan. Tapi,
semenjak ia berpacaran dengan Nurmi, ia mulai mengurangi perbuatannya yang
terkutuk itu dan berjanji ketika ia menjadi suami Nurmi, ia akan menjadi
seorang suami yang soleh dan akan mencintai Nurmi sehidup semati. Demi mendapatkan
hati Nurmi, Lucky akan berbuat apa saja untuk Nurmi. Sesekali lucky membawa
buah mangga muda untuk Nurmi di pesantren. Lucky tahu betul bahwa Nurmi sangat
suka makan mangga muda yang dicampur dengan cukka tuak.
Sembilan bulan setelah mereka pacaran,
ujian nasional pun usai. Dan sebentar lagi Nurmi akan menyelesaikan
pendidikannya di bangku SMA selama tiga tahun di pondok pesantren Al-Murahamah
Banyorang. Lucky menyiapkan semuanya untuk melamar Nurmi. Mulai dari songkolo
dan ayam kampung yang akan ia bawa ketika melamar Nurmi. Bukan hanya lucky yang
merasakan kebahagiaan, tapi Nurmi pun demikian, ia akan menikah dengan laki-laki idamannya yang akan
membiayai kuliahnya nanti. Namun, jodoh itu ada di tangan Tuhan. Meski pun
manusia saling mencintai, tapi belum tentu orang ia cintai sepenuh hati akan
menjadi jodohnya. Ada seorang pemuda dari kalumeme kota Bulukumba yang datang
ke rumah Nurmi secara diam-diam untuk melamarnya. Nurmi tidak tahu sama sekali
bahwa akan ada seorang pemuda yang akan datang melamarnya. Ayah dan bundanya
tidak memberi tahu Nurmi, karena mereka tahu Nurmi pasti akan menolak lamaran itu. Pada hal Ayah dan Ibu Nurmi akan
menerima lamaran itu dan tidak akan diserahkan lagi kepada Nurmi seperti ketika
Abba’ melamarnya. Lamaran pun tiba, Ayah dan Ibu Nurmi berpakain rapih dengan
adat sulawesi selatan yaitu baju bodo. Sedangkan Nurmi hanya menggunakan baju
kaos berwarna Pin, dan rok panjang yang berwarna merah disertai dengan kerudung
panjag yang menghiasi wajahnya. Ayah dan
Ibu Nurmi tidak peduli dengan pakain Nurmi, yang penting bagi mereka adalah
anaknya akan ia jodohkan dengan laki-laki pilihannya. Segerombolan keluarga Ray
datang ke rumah Nurmi dengan maksud untuk melamar. Terik sinar matahari saat
itu menambah keindahan dalam acara
lamaran tersebut. Nurmi duduk kursi paling pojok ia khawatir lamaran ini
akan diterima oleh Ayah dan Ibunya. Pikirannya saat itu hanya tertuju kepada
Lucky. Laki-laki yang sangat ia cintai. Dalam pembicaraan acara lamaran itu,
ibu Ray mulai mengungkapkan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah Nurmi.
“kami semua ini datang kesini puang aji, punya maksud untuk melamar anakta si
Nurmi, karena saya dengar-dengar sudah selesaimi sekolah di SMA, Jadi kami
bermaksud untuk mmelamarnya puang Aji”. Kata ibu Ray. Nurmi sesekali menatap
langit-langit rumahnya dan matanya berkaca-kaca, khawatir orang tuanya akan
mnenerima lamaran ini. “iye gitte puang, selesaimi sekolah anakku si Nurmi,
kalau memang mauki kasi jodohkangi anakta’ dengan Nurmi setujuja’ saya gitte puang”.
Kata Ayah Nurmi. Mata Nurmi yang tadinya berkaca-kaca, kini mulai mengeluarkan
air mata. Ternyata benar Ayahnya menerima lamaran ini begitu pun dengan Ibunya.
Hati Nurmi tercabik-cabik, jantungnya seakan berhenti berdetak lagi, darahnya
pun seakan berhenti mengalir, hatinya telah teriris sembilu dan terluka. Nurmi
bergegas pergi dari ruang tamu ke kamarnya. Ia menangis dalam kesendiriannya di
kamar. Hanya ada bantal guling dalam peukannya yang menyaksikan Nurmi
menjatuhkan ribuan butiran air mata. Ia meraih HP nokianya mencari kontak
lelaki tercintanya yaitu Lucky. Ia menelefonnya dan akan memberitahukan kepada
Lucky, bahwa ia telah dilamar oleh lelaki lain yang tidak ia kenal dan tidak ia
cintai sama sekali. Dan orang tua Nurmi akan memaksanya untuk menikah dengan
Ray laki-laki yang ia tidak cintai. Lucky
terdiam tanpa kata saat mendengar suara Nurmi melalui handphone bahwa
Nurmi akan menikah dengan lelaki lain. Tangan Lucky bergemetar dan lemas,
mulutnya terkunci oleh cinta yang kini kian terkubur. Namun, ia tetap mencoba
untuk mengatakan sesuatu kepada Nurmi meski hati dan cintanya bukan milik Nurmi
lagi. “semoga bahagiako Nurmi nah, ku do’akanjako itu”. Kata Lucky kepada
Nurmi. Nurmi terus menangis, ia ingin berteriak kencang dalam kamarnya mengapa
hal yang ia tidak inginkan selama ini terjadi padanya. Tuhan telah
mempertemukan Nurmi dengan jodohnya. Mimpi Nurmi untuk kuliah semuanya telah
sirna. Ia tak punya harapan lagi untuk melanjutkan pendidikannya. 1 bulan lagi
ia akan menjadi seorang istri oleh suami yang tidaK ia cintai. Nurmi mengatakan
kepada orang tuanya bahwa ia tidak siap untuk menikah dengan Ray, karena Nurmi
tidak mencintainya. Namun, permintaan Nurmi ditolak mentah-mentah oleh orang
tuanya dan dipaksa untuk tetap menikah dengan Ray.
Tepat pada tanggal 13 Juli 2009, malam
mappacci pun tiba. Nurmi menggunakan baju pengantin bewarna putih polos yang
biasa disebut pakain soloyor. Mukanya terlihat semakin cantik, bibirnya merah,
dan disertai dengan hiasan di kepalanya yang menambah kecantikannya. Namun,
kecantikan Nurmi saat itu mulai menghilang karena tangisnya. Dalam pikirannya
hanya ada Lucky lelaki idamannya. Lucky telah berjanji kepadanya bahwa malam
mappacci, Lucky akan datang dan menunggunya dipinggir jalan yang berbatu. Nurmi duduk di kursi berwarna merah di depan orang banyak
di rumahnya. Ia tidak pernah terlihat tersenyum manis pada malam mappaccinya.
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Nurmi bergegas ke kamar pengantinnya untuk
segera melepas pakaian pengantinnya karena tidak sabar lagi untuk bertemu
dengan Lucky. Ia beralasan kepada Bundanya untuk keluar rumah sebentar membeli
pulsa karena ingin menelpon teman-temannya di pesantren. Pada hal semua itu
bohong. Tujuan Nurmi untuk keluar rumah adalah untuk bertemu denga Lucky yang
telah menunggunya dari jam 8 malam. Nurmi berlari dengan sendal jepit
berwarna hitam ditemani dengan 2 orang
sepupunya yaitu Mindar dan Dumrah. Dari jauh, Lucky telah terlihat dalam
pandangan Nurmi, ia terus berlari tidak
sabar lagi untuk menatap wajah tampannya Lucky.
Akhirnya Nurmi pun berdiri di hadapan Lucky dengan air mata yang bercucuran.
Rasanya ingin memegang tangan dan memeluk Lucky, tapi Nurmi masih tersadar
bahwa Lucky bukanlah suami yang belum menjadi muhrimnya untuk ia peluk. Nurmi
hanya bisa menggenggam tangannya sendiri dan
entah apa yang harus ia katakan kepada Lucky. orang-orang di rumah Nurmi
merasa khawatir karena Nurmi keluar rumah selama 1 jam belum pulang-pulang
juga. “keluar tadi Nurmi ku lihat, na bilangi mau bede’ beli pulsa”. Kata Adik
Nurmi. Daeng Lampe pun langsung bergegas pergi mengikuti arah Nurmi. Akhirnya
Nurmi ketahuan oleh Daeng Lampe ketemuan dengan Lucky di pinggir jalan. Daeng
Lampe mengeluarkan badiknya dengan niat untuk menikam perut Lucky. Tapi Nurmi
menahan tangan Daeng Lampe dan memohon agar Daeng Lampe tidak melakukan hal ini
kepada Lucky. Akhirnya Daeng Lampe tidak jadi mengeluarkan badiknya. Seketika
itu, Nurmi memohon kepada Daeng Lampe
dengan air mata yang bercucuran di pipinya agar Daeng Lampe tidak
meberitahukan kepada Orang tua Nurmi bahwa Nurmi telah bertemu dengan Lucky di
pinggir jalan setelah malam mapaccinya usai. Daeng Lampe mengerti dengan nasib
Nurmi dan ia berjanji tidak akan meberitahukan kepada orang tua Nurmi. Daeng
Lampe dan Nurmi pulang ke Rumah dan Lucky meraih motornya dan langsung pergi
dari pinggir jalan berbatu itu. Malam itu, seakan tidak terjadi apa-apa kepada
Nurmi di tengah banyak orang di rumah Nurmi.
Tepat pada tanggal 14 juli 2009,
tibalah hari ijab Qabul dan pesta pernikahan Nurmi dan Ray. Daging kuda mulai
tercium sedapnya di depan rumah Nurmi. Satu per satu para tamu undangan datang
mengadiri pesta pernikahan Nurmi dan Ray. Nurmi masih dalam kamar pengantin
sedang dirias dengan pakaian pengantin
(pakaian kol). Pakaian kol adalah sebuah
sebutan nama baju pengantin di seulaweis selatan alias baju baju bodo. Baju itu
terlihat cantik dan mengkilap seperti bintang di langit yang menambah kecantikan
Nurmi. Tapi Nurmi masih saja menangis, hatinya masih terasa sakit karena
teriris luka sembilu. Orang tuanya memaksanya menikah dengan Ray, lelaki yang
tidak ia cintai. 2 jam berlalu, pengantin laki-laki pun datang dan akan ijab
Qabul di ruang tamu yang dihadiri oleh imam Desa dan Pak Desa serta masyarakat
Desa. Dengan penuh semangat imam Desa pun langsung menikahkan Ray dengan Nurmi.
“saya nikahkan Ray bin Cacit dengan
Nurmi binti H. Sulle dengan seperangkat alat shalat dan pohon cengkeh dibayar
tunai”. “saya terima nikahnya Nurmi binti H. Sulle dengan seperangkat alat
shalat dan pohon cengkeh dibayar tunai”. Jawab Ray. Para saksi serentak
mengatakan “SAH”. Akhirnya Nurmi dan Ray menjadi suami istri. Ray sangat
bahagia karena wanita cantik pilihannya telah ia milliki, meski wanita itu
tidak mencintainya. Nurmi, duduk di ranjang pengantin dalam kamar, Ray pun
menyusul dalam kamar yang ditemani oleh para pengantar pengantin pria. Dalam
kamar itu Nurmi dan Ray berfoto model yang disaksikan oleh banyak Orang. Ray
terlihat bahagia dan bibirnya selalu
tersenyum. Sedangkan Nurmi hanya cemberut dan tidak pernah menampakkan senyum manisnya
dalam foto model pengantin bersama Ray. Setelah foto model usai, Nurmi dan Ray
ke ruang tamu untuk persandingannya sebagai seorang pengantin. Rumah Nurmi
penuh dengan tamu undangan. Tapi Lucky tidak bisa menghadiri undangan
pernikahan Nurmi karena ia tidak sanggup melihat Nurmi dalam persandingannya.
Biasanya, pesta pernikahan seseorang adalah hari yang penuh kebahagiaan. Tapi,
itu tidak terjadi kepada Nurmi, hari
pesta pernikahan bukanlah hari yang mebuatnya bahagia. Akan tetapi hari yang membuatnya
menangis dan larut dalam kesedihan yang sangat amat mendalam. Dalam
persandingan itu, Nurmi dan Ray bersama keluarga berfoto bersama. Ray selalu
terlihat tersenyum bahagia tapi Nurmi malah sebaliknya. Ia menangis ketika berfoto
dengan keluarga. Entah apa yang terjadi padanya. Kesedihannya tak bisa ia
kuburkan ke dalam tanah. Sehingga ia terus menangis dan bedaknya mulai luntur.
Ayah Nurmi kesal melihat Nurmi menangis di tengah banyak orang dalam
persandingannya. “kenapako itu kau do Nurmi menangis terus!!”. Bentak Ayah
Nurmi kepadanya. Nurmi semakin hatinya tercincang-cincang oleh pedam yang tajam
karena Ayahnya tega membentaknya di tengah banyak orang dalam persandingannya. Seketika
itu Nurmi mengamuk di tengah banyak orang,
kipas tangan yang ada di tangan Nurmi, ia lemparkan ke arah pintu rumah. Dan
kue sesajian yang disediakan oleh para tamu undangan, ia menendangnya hingga
kue-kue itu terlempar jauh dan berantakan. Semua tamu undangan berdiri dan
merasa heran atas tingkah Nurmi saat itu. Baru pertama kali mereka menyaksikan
seorang pengantin yang mengamuk dihari pesta pernikahannya. Nurmi kembali duduk
di kursi pengantin sambil menangis. Ray saat itu merasa kecewa dan membuka
pakain pengantinnya. Tante Lia mendekati Ray untuk berusaha menenangkannya agar
kekecewaannnya hilang. Sedangkan Nurmi berusaha ditenangkan oleh
sahabat-sahabatnya agar ia menjalani hari pesta pernikahannya dengan ketenangan
dan kebahagiaan. 20 menit berlalu suasana mulai tenang, Ray mengenakan kembali
baju pengantinnya. Dan Nurmi mulai tenang, rasa amarah dan kekecewaannya mulai
hilang. Hingga hari itu pesta pernikahan kembali berjalan lancar dengan
suasana yang tenang dan tidak disertai
lagi dengan tangisan dan kesedihan Nurmi.
Dua minggu setelah Ray dan Nurmi
mejadi suami istri yang sah, Nurmi masih saja teringat kepada Lucky. Dan ia
tidak menyimpan setitik cinta untuk Ray. Semuanya ada pada Lucky. Namun, Ray
berusaha keras agar istrinya itu tidak lagi memikirkan Lucky karena Nurmi telah
menjadi miliknya. Banyak hal yang Nurmi lakukan agar bisa mencintai Ray, salah
satunya adalah meminum air yang telah dibaca-baca oleh orang yang dipercaya
bahwa ketika meminum air itu, Nurmi akan semakin cinta kepada Ray. Tapi dua
minggu berlalu Nurmi belum juga meneteskan cinta suci untuk Ray. Hari-hari
terus berlalu, hingga dalam waktu 2
bulan setelah pesta pernikahan Ray dan Nurmi, terlihat tanda-tanda kehamilan
Nurmi, ia mula maul-mual, perasaannya tidak enak. Inilah yang menandakan bahwa
Nurmi sedang hamil. Ray sangat bahagia saat mengetahui bahwa Nurmi sedang
hamil. Telah ada calon titipan Tuhan dalam perut istri tercintanya. Nurmi
juga berusaha untuk tetap tersenyum
bahagia di depan suami atas kehamilannya. Mulai detik itu, ia bertekad bahwa ia
akan menjadi istri yang soleha dan setia
buat Ray, dan akan mencintinya sehidup semati.
Hingga pada tanggal 8 Oktober 2010,
lahirlah anak pertamanya tepat pada adzan Maghrib di kumandankan pada bulan
ramadhan. Ia memberi nama anak pertamanya “Maulana Zubair”. Dan menyusul anak
keduanya lahir pada tanggal 6 Desember 2013. Anak kedua itu, Ray emeberi nama
“Asmaul Husnah”. Ray dan Nurmi saat ini menjadi keluarga yang bahagia, keluarga
yang sakinah mawaddah warahmah. Meski seorang Nurmi dinikahkan paksa oleh orang
tuanya tapi akhirnya ia bisa bahagia dan mencintai suaminya sehidup semati.